Senin, 21 Juni 2010

MASJID SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


MASJID SEBAGAI LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM



MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mandiri pada mata kuliah
Ilmu Pendidikan Islam Semester IV A Tahun Akademik 2009-2010
Dengan Dosen Mulyawan S. Nugraha, M.Ag, M.Pd





Oleh:
RIZKI AGUSTRIANA
NIM: 2008.1081




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SUKABUMI
Jl. Veteran I No. 36 Telp. (0266) 225464
Kota Sukabumi



KATA PENGANTAR


Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Segala puji bagi ALLAH, Tuhan semesta alam yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW, keluarganya, para sahabat dan seluruh umatnya. Kami bersyukur pada Ilahi Robbi yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga Makalah yang berjudul “Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam” dapat terselesaikan.
Materi dalam Makalah ini disusun berdasarkan Studi Pustaka dan Referensi-referensi yang sesuai, dengan tujuan agar manusia yang beragama Islam pada umumnya dapat lebih memahami tentang Masjid, dan sebagai Lembaga Pendidikan Islam tersebut.
Kami menyadari, bahwa dalam Makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca khususnya, kami mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan Makalah ini.
Semoga Makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya Amin.


Sukabumi, 26 Juni 2010


Penulis



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan
1.4. Kegunaan Penulisan
1.5. Sistematika Penulisan

BAB II MASJID SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
2.1. Pengertian Masjid
2.2. Fungsi Masjid
2.3. Sejarah Masjid
2.4. Pengertian Lembaga Pendidikan
2.5. Prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam
2.6. Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam
2.7. Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam

BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Masalah pertama yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Muhajirin adalah tempat tinggal. Untuk sementara, para Muhajirin bisa menginap di rumah-rumah kaum Anshor, tetapi beliau sendiri memerlukan suatu tempat khusus di tengah-tengah umatnya sebagai pusat kegiatan, sekaligus sebagai lambing persatuan dan kesatuan diantara kedua kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang yang berbeda itu.
Oleh karenanya, maka kegiatan yang pertama-tama dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW bersama dengan kaum muslimin adalah membangun masjid. Dalam membangun masjid itu Nabi Muhammad SAW juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Begitu pula kaum muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshor ikut pula bersama-sama membangun.
Setelah selesai membangun masjid, maka Nabi Muhammad SAW pindah menempati sebagian ruangannya yang memang khusus disediakan untuknya. Masjid itulah pusat kegiatan Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin, untuk secara bersama-sama membina masyarakat baru, masyarakat yang disinari oleh tauhid dan mencerminkan persatuan dan kesatuan umat. Di masjid itulah beliau bermusyawarah mengenai berbagai urusan, mendirikan Shalat berjamaah, membacakan Alquran, maka masjid itu merupakan pusat pendidikan dan pengajaran.
Sekarang ini, fungsi Masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Nabi.. hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja.
Sehubungan dengan hal tersebut, mka pembahasan akan dititikberatkan pada “Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam”.

1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada Makalah ini terdiri dari:
a. Apa pengertian dari Masjid itu?
b. Apa fungsi dari Masjid itu?
c. Bagaimana sejarah Masjid itu?
d. Apa pengertian dari Lembaga Pendidikan Islam itu?
e. Bagaimana prinsip-prinsip dari Lembaga Pendidikan Islam itu?
f. Bagaimana jenis-jenis dari Lembaga Pendidikan Islam itu?
g. Apakah Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam?

1.3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian Masjid
b. Untuk mengetahui fungsi Masjid
c. Untuk mengetahui sejarah Masjid
d. Untuk mengetahui pengertian Lembaga Pendidikan Islam
e. Untuk mengetahui prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam
f. Untuk mengetahui jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam
g. Untuk mengetahui Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam

1.4. Kegunaan Penulisan
Berdasarkan studi pustaka menggali bahan-bahan dari sumber buku (referensi) yang ada, maka Makalah ini disusun dengan pembagian menjadi 3 (tiga) bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III KESIMPULAN

1.5. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Makalah ini, Bab Pertama merupakan Pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua merupakan Pembahasan tentang “Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam” yang membahas tentang pengertian masjid, fungsi masjid, sejarah masjid, pengertian Lembaga Pendidikan Islam, prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam, jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam, dan Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam.
Bab Ketiga berisi Penutup yang memuat tentang Kesimpulan dan Saran dari penulisan akhir Maklah ini.

BAB II
MASJID SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


2.1. Pengertian Masjid
Masjid berasal dari kata Sajada yang artinya tempat sujud. Secara teknis sujud (Sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud mengandung arti menyembah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. Sedangkan sajadah dari kata Sajjadatun mengandung arti tempat yang banyak dipergunakan untuk sujud, kemudian mengerucut artinya menjadi selembar kain atau karpet yang dibuat khusus untuk shalat orang per orang. Oleh karena itu, karpet masjid yang sangat lebar, meski fungsinya sama tetapi tidak disebut sajadah.
Adapun masjid (Masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus. Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan masjid, oleh karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan masjid dalam pengertian khusus untuk menjalankan ibadah, terutama shalat berjamaah. Pengertian ini juga mengerucut menjadi masjid yang digunakan untuk shalat jumat disebut Masjid Jami. Karena shalat jumat diikuti oleh orang banyak, maka masjid Jami biasanya besar. Sedangkan masjid yang hanya digunakan untuk shalat lima waktu, bisa di perkampungan, bisa juga di kantor atau di tempat umum, dan biasanya tidak terlalu besar atau bahkan kecil sesuai dengan keperluan disebut Musholla, artinya tempat shalat. Di beberapa daerah, musholla terkadang diberi nama langgar atau surau.
Kata Masjid teulang sebanyak dua puluh delapan kali didalam Alquran. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takdzim.
Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna diatas. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid, yang artinya “tempat sujud”.
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata. Karena itu, Alquran surat Al-Jin ayat 18 menegaskan:

18. Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (Q.S. Al-Jin:18).

Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri”. (H.R. Bukhari dan Muslim, melalui Jabir bin Abdullah)

Jika dikaitkan dengan bumi ini, Masjid bukan hanya sekadar tempat sujud dan sarana penyucian. Disini kata masjid juga yang tidak lagi hanya berarti bangunan tempat shalat, atau bahkan bertayamum sebagai cara bersuci pengganti wudhu, tetapi kata masjid disini berarti juga tempat melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah SWT.
Alquran menggunakan kata sujud untuk berbagai arti. Sekali diartikan sebagai penghormatan dan pengakuan akan kelebihan pihak lain, seperti sujudnya Malaikat kepada Adam pada Alquran surat Al-Baqarah:34.

34. Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
[36] sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, Karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah. (Q.S. Al-Baqarah:34)

2.2. Fungsi Masjid
Fungsi Masjid dapat lebih efektif bila didalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas yang diperlukan adalah:
1. Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan;
2. Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum dan sesudah shalat berjamaah. Program inilah yang dikenal dengan istilah “i'tikaf ilmiah”. Langkah-langkah praktis yang ditempuh dalam operasionalisasinya adalah memberikan perencanaan terlebih dahulu dengan menampilkan beberapa pokok persoalan yang akan dibahas. Setelah berkumpul para audiens (makmum), diskusi dapat dimulai pada ruang yang telah tersedia. Kira-kira sepuluh sampai lima belas menit sebelum shalat berjamaah, diskusi dihentikan dan kemudian beralih pada “i'tikaf profetik” (dzikir). Sebaliknya, jika diskusi ini dilakukan seusai shalat berjamaah, i'tikaf profetik didahulukan dan kemudian diganti dengan i'tikaf ilmiah. Agar tak terlalu menjemukan diskusi ini dilakukan dua atau tiga minggu sekali;
3. Ruang kuliah, baik digunakan untuk training (tadrib) remaja masjid, atau juga untuk madrasah diniyah Omar Amin Hoesin memberi istilah ruang kuliah tersebut dengan sekolah masjid. Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi keagamaan untuk membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya lebih minim dibandingkan dengan proporsi materi umum;
4. Apabila memungkinkan, teknik khotbah dapat diubah dengan teknik komunikasi transaksi, yakni antara khotib dengan para audiens, terjadi dialog aktif satu sama lain, sehingga situasi dalam khotbah menjadi semakin aktif dan tidak monoton. Teknik dialog (hiwar) dapat diterapkan dalam khotbah Jumat manakala memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Syarat dan rukun khotbah masih diberlakukan;
b. Jamaah shalat rata-rata terdiri dari kaum intelektual atau kaum cendekiawan, sehingga hanya memungkinkan di Masjid Perkotaan, Pesantren, dan Masjid Kampus;
c. Diperlukan khotib (moderator) yang berwibawa, alim, dan professional, sehingga ia dapat mengarahkan jalannya diskusi dalam situasi khotbah dengan baik;
d. Perlu adanya perencanaan yang matang, sehingga jauh-jauh sebelumnya para audiens sudah siap terlibat langsung;
e. Masalah yang dibahas harus masalah yang waqiyah, yakni masalah-masalah kontemporer yang sedang hangat menimpa umat.

Secara konsepsional dapat dilihat dalam sejarah bahwa masjid pada zaman Rasul memiliki banyak fungsi diantaranya:
1. Sebagai tempat menjalankan ibadah shalat;
2. Sebagai tempat musyawarah (seperti gedung parlemen);
3. Sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut keadilan (seperti Kantor Pengadilan);
4. Secara tak langsung sebagai tempat pertemuan bisnis.

Yang lebih strategis lagi, pada zaman Rasul, masjid adalah pusat pengembangan masyarakat dimana setiap hari masyarakat berjumpa dan mendengar arahan-arahan dari Rasul tentang berbagai hal; prinsip-prinsip keberagaman tentang sistem masyarakat baru, juga ayat-ayat Alquran yang baru turun. Didalam masjid pula terjadi interaksi antar pemikiran dan antar karakter manusia. Adzan yang dikumandangkan lima kali sehari sangat efektif mempertemukan masyarakat dalam membangun kebersamaan.
Bersamaan dengan perkembangan zaman, terjadi ekses-ekses dimana bisnis dan urusan duniawi lebih dominan dalam pikiran, disbanding meski didalam masjid, dan hal ini memberikan inspirasi kepada Umar bin Chattab untuk membangun fasilitas didekat masjid, dimana masjid diutamakan untuk hal-hal yang jelas makna ukhrawinya, sementara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih berdimensi duniawi.
Umar membuat ruang khusus disamping masjid. Itulah asal-usulnya sehingga pada masa sejarah klasik (hingga sekarang), pasar dan sekolahan selalu berada di dekat masjid.

2.3. Sejarah Masjid
Ketika Rasulullah berhijrah ke Madina, langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid kecil yang berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurma. Dari sana beliau membangun masjid yang besar, membangun dunia ini, sehingga kota tempat beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah “tempat peradaban” atau paling tidak dari tempat tersebut lahir benih peradaban baru umat manusia.
Masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah adalah Masjid Quba’, kemudian disusul dengan Masjid Nabawi di Madinah. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang masjid yang dijuluki Allah sebagai masjid yang dibangun atas dasar taqwa (Q.S. At-Taubah:108) yang jelas bahwa keduanya masjid Quba dan Masjid Nabawi dibangun atas dasar ketaqwaan, dan setiap masjid saharusnya memiliki landasan dan fungsi seperti itu. Itulah sebabnya mengapa meruntuhkan bangunan kaum munafik yang juga mereka sebut masjid, dan menjadikan lokasi itu tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang, karena dibangunan tersebut tidak dijalankan fungsi masjid yang sebenarnya, yakni ketaqwaan.
Alquran melukiskan bangunan kaum munafik itu sebagai berikut:

108. Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (At-Taubah:108)

Masjid Nabawi di Madina telah mengabarkan fungsinya, sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh masjid Nabawi, yaitu:
1. Tempat ibadah (Shalat, Dzikir);
2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi, sosial, dan budaya);
3. Tempat pendidikan;
4. Tempat santunan sosial;
5. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya;
6. Tempat pengobatan para korban perang;
7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa;
8. Aula dan tempat menerima tamu;
9. Tempat menawan tahanan, dan
10. Pusat penerangan atau pembelaan agama.
Agaknya masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas, disebabkan antara lain oleh:
1. Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama;
2. Kemampuan Pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.
Manifestasi pemerintahan terlaksana didalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/ khotib maupun didalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura (musyawarah).
Keadaan itu kini telah berubah, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil alih sebagian peranan masjid di masa lalu, yaitu organisasi-organisasi keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintahan, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid.
Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam, itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak berarti bahwa masjid tidak dapat berperan didalam hal-hal tersebut.
Masjid, khususnya masjid besar, harus mampu melakukan kesepuluh peran tadi, paling tidak melalui para pembinanya guna mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas.
Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimilikinya harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya dan miskin.
Didalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, hal ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk:
a. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan;
b. Ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria, baik digunakan untuk shalat maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK);
c. Ruang pertemuan dan perpustakaan;
d. Ruang Poliklinik dan ruang untuk memandikan dan menkafankan mayat;
e. Ruang bermain, berolahraga dan berlatih bagi remaja.
Semua hal diatas harus diwarnai oleh kesederhanaan fisik bangunan, namun harus tetap menunjang peranan masjid ideal termaktub.
Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dipelihara. Segala sesuatu yang diduga mengurangi kesucian masjid atau dapat mengesankan, hal tersebut tidak boleh dilakukan didalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid.
Salah satu yang ditekankan oleh sebagian ulama sebagai sesuatu yang tidak wajar terlihat pada masjid (dan sekitarnya) adalah kehadiran para pengemis.
Untuk memelihara kesucian masjid, Allah berfirman agar para pengunjungnya memakai hiasan ketika mengunjungi masjid sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-A’raf ayat 31:

31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid[534], makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
[534] Maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka'bah atau ibadat-ibadat yang lain.
[535] Maksudnya: janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.

Rasulullah menganjurkan agar memakai wangi-wangian saat berkunjung ke masjid, dan melarang mereka yang baru saja memakan bawang memasukinya.
Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketentraman pada pengunjung dan lingkungannya, karena itu Rasulullah melarang adanya benih-benih pertengkaran didalamnya, sampai-sampai beliau bersabda:
“Jika engkau mendapati seseorang menjual atau membeli di dalam masjid, katakanlah kepadanya,” semoga Allah tidak memberi keuntungan bagi perdaganganmu”, dan bila engkau mendapati seseorang mencari barangnya yang hilang didalam masjid, maka katakanlah, “semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu (semoga engkau tidak menemukannya).”

Kedua teks yang disebutkan diatas tidak berarti larangan berbicara tentang perniagaan yang sifatnya mendidik umat, atau melarang para Pembina dan pengelola masjid berniaga, melainkan yang dimaksud adalah larangan melakukan transaksi perniagaan didalam masjid.
Fungsi masjid paling tidak dinyatakan oleh hadits Rasulullah ketika menegur seseorang yang membuang air kecil (disamping) masjid:
“Masjid-masjid tidak wajar untuk tempat kencing atau (membuang sampah). Ia hanya untuk (dijadikan tempat) berzikir kepada Allah, dan membaca (belajar) Alquran”. (H.R. Muslim)

2.4. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Secara etimologis, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha. Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa lembaga mengandung dua arti, yaitu: 1) Pengertian secara fisik, material, konkrit, dan 2) pengertian secara non fisik, non material, dan abstrak.
Dalam bahasa Inggris, lembaga disebut Institute (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian non fisik atau abstrak disebut institution, yaitu suatu system norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian non fisik disebut dengan pranata.
Secara terminology menurut Hasan Langgulung, Lembaga Pendidikan adalah suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideology-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah: masjid, sekolah, kuttab, dan sebagainya.
Daud Ali dan Habibah Daud menjelaskan, bahwa ada dua unsur yang kontradiktif dalam pengertian lembaga, pertama pengertian secara fisik materil, konkrit, dan kedua pengertian secara non fisik, non materil dan abstrak. Terdapat dua versi pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi fisik menampakkan suatu badan dan sarana yang didalamnya ada beberapa orang yang menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek non fisik lembaga merupakan suatu sistem yang berperan membantu mencapai tujuan.
Amir Daiem mendefinisikan lembaga pendidikan dengan orang atau badan yang secara wajar mempunyai tanggungjawab terhadap pendidikan.
Rumusan definisi yang dikemukakan Amir Daiem ini memberikan penekanan pada sikap tanggungjawab seseorang terhadap peserta didik, sehingga dalam realisasinya merupakan suatu keharusan yang wajar bukan merupakan keterpaksaan. Definisi lain tentang lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan, relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Adapun Lembaga Pendidikan Islam secara terminology dapat diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung pengertian konkrit, berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penanggungjawab pendidikan itu sendiri.
Pendidikan Islam termasuk bidang sosial sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga sosial tersebut terdiri atas tiga bagian, antara lain:
1. Asosiasi, misalnya universitas, persatuan atau perkumpulan;
2. Organisasi khusus, misalnya penjara, rumah sakit, dan sekolah-sekolah;
3. Pola tingkah laku yang menjadi kebiasaan atau pola hubungan sosial yang mempunyai hubungan tertentu.

Lembaga sosial adalah himpunan norma-norma tentang keperluan-keperluan pokok didalam kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Berdasarkan uraian diatas, lembaga pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang bergerak dan bertanggungjawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak didik. Adapun lembaga pendidikan islam dapat diartikan dengan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan. Dengan demikian, lembaga pendidikan islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga islam, dan mempunyai pola-pola tertentu dalam memerankan fungsinya serta mempunyai struktur tersendiri yang dapat mengikat individu yang berada dibawah naungannya, sehingga ini mempunyai kekuatan hukum tersendiri.
Lembaga pendidikan Islam berupa non fisik mencakup peraturan-peraturan baik yang tetap maupun yang berubah, sedangkan bentuk fisik berupa bangunan seperti masjid, kuttab, dan sekolah. Bentuk fisik ini sebagai tempat untuk melaksanakan peraturan-peraturan, yang penanggungjawabnya adalah suatu badan, organisasi, orang tua, yayasan, dan negara.
Dalam buku karangan Beni Ahmad Soebani dan Hendra Akhdiyat menjelaskan, bahwa lembaga pendidikan adalah tempat berlangsungnya atau dilaksanakannya kegiatan pendidikan yang fasilitasnya dapat berupa rumah, madrasah, masjid, mushola atau surau, majlis ta’lim, pondok pesantren, balai musyawarah, sekolah, perkantoran, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan formal berupa sekolah, pondok pesantren yang sederajat dengan madrasah yang diakui, bahkan diakreditasi oleh Dinas Pendidikan Nasional.
Lembaga pendidikan non formal adalah keluarga dan lingkungan masyarakat. Dengan memanfaatkan berbagai fasilitas umum yang dimiliki masyarakat, misalnya masjid, mushola, balai musyawarah, rumah penduduk dan sebagainya untuk melaksanakan pendidikan Islam.
Kelembagaan pendidikan islam dapat dikembangkan di masyarakat tanpa terpaku oleh lembaga-lembaga yang sifatnya formal. Oleh karena itu, pengembangannya akan mempermudah masyarakat menerima dan menambah ilmu pengetahuan agama Islam khususnya dan umumnya berbagai ilmu yang bermanfaat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, ibu-ibu PKK mengadakan Pengajian Keliling seminggu sekali ke rumah-rumah penduduk setiap RT dan RW, maka program ini merupakan upaya memanfaatkan lembaga non formal untuk mengembangkan syiar Islam di masyarakat.

2.5. Prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam
Bentuk Lembaga Pendidikan Islam apa pun dalam Islam harus berpijak pada prinsip-prinsip tertentu yang telah disepakati sebelumnya, sehingga antara lembaga satu dengan lembaga lainnya tidak terjadi semacam tumpang tindih. Prinsip-prinsip pembentukkan lembaga pendidikan islam itu adalah:
1. Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia pada api neraka (Q.S. At-Tahrim:6)

6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

2. Prinsip pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia di dunia dan di akhirat, sebagai realisasi cita-cita bagi orang yang beriman dan bertaqwa, yang senantiasa memanjatkan doa sehari-harinya (Q.S. Al-Baqarah:201; Al-Qashash:77)

201. Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"[127]. (Q.S. Al-Baqarah:201)

[127] inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.

77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(Al-Qashash:77)

3. Prinsip pembentukkan pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan hidupnya untuk menghambakan diri pada Khaliknya, keyakinan dan keimanannya sebagai penyuluh terhadap akal budi yang sekaligus mendasari ilmu pengetahuannya, bukan sebaliknya keimanan dikendalikan oleh akal budi. (Q.S. Al-Mujadilah:11)

11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujadilah:11)

4. Prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar, dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kenistaan. (Q.S. Ali Imran:104, 110)

104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran:104)

[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali Imran:110)

5. Prinsip pengembangan daya piker, daya nalar, daya rasa, sehingga dapat menciptakan anak didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa, dan karsanya.

2.6. Jenis-Jenis Lembaga Pendidikan Islam
1. Lembaga Pendidikan Islam dilihat dari Ajaran Islam sebagai asasnya
Dalam ajaran Islam, perbuatan manusia disebut dengan amal, yang telah melembaga dalam jiwa seorang muslim, baik amal yang berhubungan dengan Allah maupun amal yang berhubungan dengan manusia, dan alam semesta. Sedangkan Mahmud Syaltut mengemukakan, bahwa ajaran Islam mencakup aspek akidah, syariah dan mu’amalah yang dapat membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih baik.
Asas seluruh ajaran dan amal Islam adalah Iman. Islam telah menetapkan norma-norma dalam mengamalkan ajarannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sidi Ghazalba, bahwa jenis lembaga pendidikan Islam yang serba tetap dan tidak boleh berubah dan tidak mungkin berubah adalah:
a. Rukun Iman, yaitu lembaga kepercayaan manusia kepada Tuhan, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, dan Takdir;
b. Ikrar keyakinan (bacaan Syahadatain), yaitu lembaga yang merupakan pernyataan atas kepercayaan manusia;
c. Thaharah, yaitu lembaga pensucian manusia dari segala kotoran, baik lahir maupun batin;
d. Shalat, yaitu lembaga pembentukkan pribadi-pribadi, yang dapat membantu dalam menemukan pola tingkah laku untuk membangun atas dasar kesejahteraan umat dan mencegah perbuatan keji dan munkar;
e. Zakat, yaitu lembaga pengembangan ekonomi umat, serta lembaga untuk menghilangkan stratifikasi status ekonomi masyarakat yang tidak seimbang;
f. Puasa, yaitu lembaga untuk mendidik jiwa, dengan mengendalikan nafsu dan kecenderungan-kecenderungan fisik dan psikologis;
g. Haji, yaitu lembaga pemersatu dalam komunikasi umat secara keseluruhan;
h. Ihsan, yaitu lembaga yang melengkapi dan meningkatkan serta menyempurnakan amal dan ibadah manusia;
i. Ikhlas, yaitu lembaga pendidikan rasa dan budi, sehingga tercapai suatu kondisi kenikmatan dalam beribadah dan beramal;
j. Taqwa, yaitu lembaga yang menghubungkan antara manusia dan Allah sebagai suatu cara untuk membedakan tingkat dan derajat manusia.
Adapun lembaga-lembaga yang dapat berubah, karena perubahan norma-norma adalah:
a. Ijtihad, yaitu lembaga berpikir sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam merumuskan suatu keputusan masalah;
b. Fiqih, yaitu lembaga hukum Islam yang diupayakan oleh manusia melalui lembaga ijtihad;
c. Akhlak, yaitu lembaga nilai-nilai tingkah laku yang dibuat acuan oleh sekelompok masyarakat dalam pergaulan;
d. Lembaga pergaulan masyarakat (sosial);
e. Lembaga ekonomi, yaitu lembaga yang mengatur hubungan ekonomi masyarakat dengan mencakup segala aspeknya;
f. Lembaga politik;
g. Lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi;
h. Lembaga seni;
i. Lembaga negara;
j. Lembaga pendidikan

2. Lembaga Pendidikan Islam ditinjau dari aspek Penanggung-jawab
a. Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga)
keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah persekutuan antar sekelompok orang yang mempunyai pola-pola kepentingan masing-masing dalam mendidik anak yang belum ada di lingkungannya. Kegiatan pendidikan dan lembaga ini tanpa ada suatu organisasi yang ketat. Tanpa ada program waktu dan evaluasi.
Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah dan nasb. Sejalan dengan pengertian diatas, keluarga dapat diperoleh lewat persusuan dan pemerdekaan. Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam disyaratkan dalam Alquran:

6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. at-Tahrim:6)

Hal itu juga dipraktekkan Nabi dalam sunnahnya. Diantara orang yang dahulu beriman dan masuk Islam adalah anggota keluarga, yaitu Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Harisah.
Keluarga merupakan orang pertama, dimana sifat kepribadian akan tumbuh dan terbentuk. Seseorang akan menjadi warga masyarakat yang baik, bergantung pada sifatnya yang tumbuh dalam kehidupan keluarga, dimana anak dibesarkan.
Melihat peran yang dapat dimainkan oleh lembaga pendidikan keluarga, maka tidak berlebihan bila Sidi Ghazalba mengkategorikannya pada jenis lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggungjawab.

b. Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah/Madrasah)
Abu Ahmad dan Nur Uhbiyato memberi pengertian tentang lembaga pendidikan sekolah, yaitu bila dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Sementara Hadari Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan secara remaja, berencana, sistematis dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya, agar mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.
Gazalba memasukkan lembaga pendidikan formal ini dalam jenis pendidikan sekunder, sementara pendidiknya adalah guru yang professional.
Di Negara Republik Indonesia, ada tiga lembaga pendidikan yang diidentikkan sebagai lembaga pendidikan islam, yaitu: pesantren, madrasah, dan sekolah milik organisasi islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada.
Lembaga pendidikan pesantren dapatlah dikategorikan sebagai lembaga pendidikan non formal. Sedangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia adalah:
1. Raudhatul Athfal atau Busthanul Athfal, atau nama lain yang disesuaikan dengan organisasi pendirinya;
2. Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau Sekolah Dasar Islam (SDI);
3. Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPi), atau nama-nama lain yang setingkat dengan pendidikan ini, seperti Madrasah Mu’allimat (MMA), atau Madrasah Mua’llimin Atas (MMA);
4. Perguruan tinggi, antara lain Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN) atau lembaga sejenis milik yayasan atau organisasi keislaman, seperti Sekolah Tinggi, Universitas atau Institut Swasta milik organisasi atau yayasan tertentu;
5. Lembaga Pendidikan Non Formal (masyarakat) yang teratur, namun tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Hampir sejalan dengan pengertian tersebut diatas, Abu Ahmadi mengartikan lembaga non formal kepada semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan terencana diluar kegiatan lembaga sekolah (lembaga pendidikan formal).

Masyarakat merupakan kumpulan individu dan kelompok yang terikat oleh kesatuan bangsa, Negara, kebudayaan, dan agama. Setiap masyarakat memiliki cita-cita yang diwujudkan melalui peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Islam tidak membebaskan manusianya dari tanggungjawabnya sebagai anggota masyarakat, dia merupakan bagian yang integral, sehingga harus tunduk pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Begitu juga dengan tanggungjawabnya dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan.
Berpijak pada tanggungjawab masyarakat diatas lahirlah lembaga pendidikan islam yang dapat dikelompokkan dalam jenis ini adalah:
1. Masjid, musholla langgar, surau dan rangkang;
2. Madrasah diniyah yang tidak mengikuti ketetapan resmi;
3. Majlis Ta’lim, Taman Pendidikan Alquran, Taman Pendidikan Seni Alquran, Wirid Remaja/Dewasa;
4. Kursus-kursus Keislaman;
5. Badan Pembinaan Rohani;
6. Badan-badan Konsultasi Keagamaan;
7. Musahabah Tilawah Alquran.

2.7. Masjid sebagai Lembaga Pendidikan
Implikasi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam adalah:
a. Mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT;
b. Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insane pribadi, sosial dan warga Negara;
c. Memberikan rasa ketentraman, kekuatan, dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran, perenungan, optimism, dan mengadakan penelitian;

BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Dari sekian banyak uraian yang kami kemukakan, maka kami dapat menyimpulkan bahwa:
a. Masjid mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Dalam arti umum, masjid adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud, sedangkan dalam arti khusus masjid adalah tempat yang dibangun khusus untuk menjalankan ibadah, terutama shalat berjamaah;
b. Masjid mempunyai banyak fungsi diantaranya yaitu sebagai tempat menjalankan ibadah shalat, sebagai tempat musyawarah, dan sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut keadilan;
c. Masjid yang pertama kali dibangun adalah Masjid Quba, kemudian disusul dengan Masjid Nabawi;
d. Lembaga Pendidikan Islam adalah suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam;
e. Prinsip-prinsip pembentukkan Lembaga Pendidikan Islam itu diantaranya: Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia pada api neraka. Prinsip pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagian di dunia dan di akhirat, dan prinsip amar ma’ruf nahi munkar, dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kenistaan;
f. Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam itu diantaranya yaitu lembaga pendidikan Islam dilihat dari ajaran Islam sebagai asasnya dan lembaga pendidikan Islam ditinjau dari aspek penanggungjawab
g. Implikasi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam itu diantaranya untuk mendidik anak agar tetap beribadah kepada Allah, menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insane pribadi, sosial dan warga Negara, dan memberikan rasa ketentraman, kekuatan, dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran, perenungan, optimism, dan mengadakan penelitian.

3.2. Saran
Penulis menyusun Makalah ini untuk memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam dengan pokok bahasan mengenai: “Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam”, maka penulis akan menyampaikan saran sebagai berikut:
a. Kita sebagai umat Islam harus banyak memakmurkan masjid, jangan sampai masjid itu yang mengisinya sedikit, artinya masjid itu harus banyak dimanfaatkan benar-benar seperti pada zaman Rasulullah SAW;
b. Bahwa kita jangan mempunyai anggapan bahwa masjid itu sebagai tempat shalat saja, tetapi masjid itu banyak sekali fungsinya seperti untuk pengajian-pengajian, bermusyawarah, latihan remaja mesjid, dan yang lainnya.


DAFTAR PUSTAKA


Zuhairini, 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana

Ramayulis, 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia

Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, 2009. Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung: Pustaka Setia

http://media.isnet.org/Islam/Quraish/Wawasan/Masjid.html

Senin, 11 Januari 2010

URGENSI AKHLAK TERHADAP SESAMA MANUSIA

KATA PENGANTAR


Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Segala Puji bagi ALLAH, Tuhan Semesta Alam yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya dan Karunia-Nya, Shalawat serta Salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W., keluarganya, para sahabat, dan seluruh umatnya. Kami bersyukur kepada Illahi Rabbi yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga Makalah yang berjudul: “Urgensi Akhlak Terhadap Sesama Manusia” dapat terselesaikan.
Materi dalam Makalah ini disusun berdasarkan Studi Pustaka dan Referensi-referensi yang sesuai dengan tujuan, agar pada umumnya dapat lebih memahami tentang Akhlak, dan Urgensi Manusia dalam Akhlak tersebut.
Kami menyadari, bahwa dalam Makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu kepada para pembaca khususnya, kami mengharapkan Saran dan Kritik demi kesempurnaan Makalah ini.
Semoga Makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya. Amin.



Sukabumi, Januari 2010


Penulis



BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam persoalan Akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak berkewajiban menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam. Kualitas keberagaman justru ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat berbicara tentang syarat rukun, sah atau tidak sah, maka akhlak menekankan pada kualitas dari perbuatan, misalnya beramal dilihat dari keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusuannya, berjuang dilihat dari kesabarannya, haji dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, harta dilihat dari aspek mana dari mana dan untuk apa, jabatan dilihat dari ukuran apa yang telah diberikan, bukan apa yang diterima.
Dengan demikian, dikarenakan akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam, maka Islam sebagai agama yang bisa dilihat dari berbagai dimensi, sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai aturan. Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama berisi perintah dan larangan, ada perintah keras (wajib) dan larangn keras (haram), ada juga perintah anjuran (sunat) dan larangan anjuran (makruh).
Apalagi pada zaman sekarang ini, banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Disatu sisi, kita mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti agama ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam masalah akhlak kurang diperhatikan, sehingga tidak dapat disalahkan bila ada keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awam, seperti ungkapan, “wah…udah ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua”, atau ucapan: “dia sih agamanya bagus, tapi sama tetangga tidak pedulian…..”, dan lain-lain.
Seharusnya, ucapan-ucapan seperti ini atau pun semisal dengan ini menjadi cambuk bagi kita untuk mengoreksi diri dan membenahi akhlak Islam, bukanlah agama yang mengabaikan akhlak, bahkan Islam mementingkan akhlak. Yang perlu diingat, bahwa tauhid sebagai sisi pokok/inti, Islam yang memang seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara penyempurnaannya. Dan akhlak mempunyai hubungan yang erat, Tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap ALLAH, dan ini merupakan pokok inti akhlak seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya, berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang, maka semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila seseorang mywahhid memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pembahasan akan dititikberatkan pada “Urgensi Akhlak Terhadap Sesama Manusia”.

1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada Makalah ini terdiri dari:
a. Apa definisi dari Akhlak dan apa saja jenis-jenis akhlak itu?
b. Apa tujuan Akhlak itu? Dan darimana sumbernya!
c. Apakah Akhlak ikut menjaga kelangsungan hidup manusia?
d. Apa saja Akhlak terhadap sesama manusia?
e. Apa urgensi Akhlak dalam Ritual Islam?

1.3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui definisi Akhlak dan jenis-jenis akhlak
b. Untuk mengetahui Tujuan akhlak dan sumber akhlak
c. Untuk mengetahui Akhlak ikut menjaga kelangsungan hidup manusia
d. Untuk mengetahui Akhlak terhadap sesama manusia
e. Untuk mengetahui Urgensi Akhlak dalam ritual Islam

1.4. Kegunaan Penulisan
Berdasarkan studi pustaka menggali bahan-bahan dari sumber buku (referensi) yang ada, maka Makalah ini disusun dengan pembagian menjadi 3 (tiga) BAB, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP

1.5. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Makalah ini, BAB I merupakan Pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II merupakan Pembahasan tentang “Urgensi Akhlak Terhadap Sesama Manusia”, yang membahas tentang Apa Definisi Akhlak dan Jenis-jenis Akhlak, Apa Tujuan Akhlak dan Sumber Akhlak, Apakah Akhlak ikut menjaga Kelangsungan Hidup Manusia, Apa saja Akhlak terhadap Sesama Manusia, dan Apa Urgensi Akhlak dalam Ritual Islam.
BAB III berisi Penutup yang memuat tentang Kesimpulan dan Saran dari Penulisan akhir Makalah ini.

BAB II
URGENSI AKHLAK TERHADAP SESAMA MANUSIA


2.1. Definisi dan Jenis-jenis Akhlak
A. Definisi Akhlak
Kata “Akhlak” berasal dari Bahasa Arab, Jamak dari Khuluq, yang artinya tabiat, budi pekerti, watak, atau kesopanan. Sinonim kata Akhlak ialah tatakrama, kesusilaan, sopan santun (Bahasa Indonesia), moral, ethic (Bahasa Inggris), ethos, ethikos (Bahasa Yunani).
Untuk mengetahui definisi Akhlak menurut istilah, dibawah ini terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya:
a. Ibnu Maskawaih mendefinisikan, Akhlak adalah sikap jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih dahulu);
b. Prof. DR. Ahmad Amin menjelaskan, sementara orang membuat definisi Akhlak, bahwa yang disebut Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan Akhlak;
c. Al-Qurthuby mendefinisikan, Akhlak adalah suatu perbuatan manusia yang bersumber dari adab kesopanannya yang disebut Akhlak, karena perbuatan itu termasuk bagian darinya;
d. Muhammad bin Ilaan Ash-Shadieqy mendefinisikan, Akhlak adalah suatu pembawaan dalam diri manusia, yang dapat menimbulkan perbuatan baik, dengan cara yang mudah (tanpa dorongan dari orang lain);
e. Abu Bakar Jabir Al-Jazairy mendefinisikan, Akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, yang menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara yang disengaja;
f. Imam Al-Ghazali mendefinisikan Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan, tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.
Al-Qurthuby menekankan bahwa akhlak itu merupakan bagian dari kejadian manusia. Oleh karena itu, kata al-khuluk tidak dapat dipisahkan pengertiannya dengan kata al-khiiqah, yaitu fitrah yang dapat mempengaruhi perbuatan setiap manusia.
Imam Al-Ghazaly menekankan, bahwa Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, yang dapat dinilai baik atau buruk, dengan menggunakan ukuran ilmu pengetahuan dan norma agama.
Muhammad bin Ilaan Ash-Shadieqy, Ibnu Maskawaih dan Abu Bakar Jabir Al-Jazairy menekankan, bahwa Akhlak adalah keadaan jiwa yang selalu menimbulkan perbuatan yang gampang dilakukan. Meskipun ketiganya menekankan keadaan jiwa sebagai sumber timbulnya akhlak, namun dari sisi lain mereka berbeda pendapat, yaitu:
1. Muhammad bin Ilaan Ash-Shadieqy menekankan hanya perbuatan baik saja yang disebutnya akhlak;
2. Ibnu Maskawaih menekankan seluruh perbuatan manusia yang disebutnya akhlak;
3. Abu Bakar Jabir Al-Jazairy menjelaskan perbuatan baik dan buruk yang disebutnya akhlak.


B. Jenis-Jenis Akhlak
Utama akhlak menyatakan, bahwa Akhlak yang baik merupakan sifat para Nabi dan orang-orang Shiddiq, sedangkan akhlak yang buruk merupakan sifat Syaithan dan orang-orang yang tercela.
Maka pada dasarnya, Akhlak itu menjadi 2 (dua) jenis, diantaranya:
a. Akhlak baik atau terpuji (Al-Akhlaaqul Mahmuudah), yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang baik yaitu akhlak yang diridhoi oleh ALLAH S.W.T., akhlak yang baik itu dapat diwujudkan dengan mendekatkan diri kita kepada ALLAH yaitu dengan mematuhi segala perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, mengikuti ajaran-ajaran dari Sunnah Rasulullah S.A.W., mencegah diri kita untuk mendekati yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar, seperti firman ALLAH dalam Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik untuk manusia, menuju kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada ALLAH”.
Akhlak yang baik menurut Imam Ghazali ada 4 (empat) perkara, yaitu bijaksana, memelihara diri dari sesuatu yang tidak baik, keberanian (menundukkan kekuatan hawa nafsu), dan bersifat adil. Jelasnya, ia merangkum sifat-sifat seperti berbakti pada keluarga dan Negara, hidup bermasyarakat dan bersilaturahim, berani mempertahankan agama, senantiasa bersyukur dan berterima kasih, sabar dan ridha dengan kesengsaraan, berbicara benar dan sebagainya.
Akhlak yang baik yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang baik terhadap Tuhan antara lain:
1. Bertaubat (At-Taubah), yaitu suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan berusaha menjauhinya, serta melakukan perbuatan baik;
2. Bersabar (Ash-Shabru), yaitu suatu sikap yang betah atau dapat menahan diri pada kesulitan yang dihadapinya. Tetapi bukan berarti bahwa sabar itu langsung menyerah tanpa upaya untuk melepaskan diri dari kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Maka sabar yang dimaksudkannya adalah sikap yang diawali dengan ikhtisar, lalu diakhiri dengan ridha dan ikhlas, bila seseorang dilanda suatu cobaan dari Tuhan;
3. Bersyukur (Asy-Syukru), yaitu suatu sikap yang selalu ingin memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, nikmat yang telah diberikan oleh ALLAH kepadanya, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Lalu disertai dengan peningkatan pendekatan diri kepada yang member nikmat, yaitu ALLAH;
4. Bertawakkal (At-Tawakkal), yaitu menyerahkan segala urusan kepada ALLAH setelah berbuat semaksimal mungkin, untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, syarat utama yang harus dipenuhi bila seseorang ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkannya, ia harus lebih dahulu berupaya sekuat tenaga, lalu menyerahkan ketentuannya kepada ALLAH. Maka dengan cara yang demikian itu, manusia dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya;
5. Ikhlas (Al-Ikhlaash), yaitu sikap menjauhkan diri dari riya (menunjuk-nunjukkan kepada orang lain) ketika mengerjakan amal baik, maka amalan seseorang dapat dikatakan jernih, bila dikerjakannya dengan ikhlas;
6. Raja (Ar-Rajaa), yaitu sikap jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari ALLAH S.W.T., setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, bila tidak mengerjakan penyebabnya, lalu menunggu sesuatu yang diharapkannya, maka hal itu disebut “tamanni”;
7. Bersikap takut (Al-Khauf), yaitu suatu sikap jiwa yang sedang menunggu sesuatu yang tidak disenangi dari ALLAH, maka manusia perlu berupaya agar apa yang ditakutkan itu, tidak akan terjadi.
Akhlak yang baik terhadap sesama manusia antara lain:
1. Belas kasihan atau sayang (Asy-Syafaqah), yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berbuat baik dan menyantuni orang lain;
2. Rasa persaudaraan (Al-Ikhaa), yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan baik dan bersatu dengan orang lain, karena ada keterikatan bathin dengannya;
3. Member nasihat (An-Nashiihah), yaitu suatu upaya untuk memberi petunjuk-petunjuk yang baik kepada orang lain dengan menggunakan perkataan, baik ketika orang yang dinasihati telah melakukan hal-hal yang buruk, maupun belum. Sebab kalau dinasihati ketika ia telah melakukan perbuatan buruk, berarti diharapkan agar ia berhenti melakukannya. Tetapi kalau dinasihati ketia ia belum melakukan perbuatan itu, berarti diharapkan agar ia tidak akan melakukannya;
4. Memberi pertolongan (An-Nashru), yaitu suatu upaya untuk membantu orang lain, agar tidak mengalami suatu kesulitan;
5. Menahan amarah (Kazmul Ghaizhi), yaitu upaya menahan emosi, agar tidak dikuasai oleh perasaan marah terhadap orang lain;
6. Sopan santun (Al-Hilmu), yaitu sikap jiwa yang lemah lembut terhadap orang lain, sehingga dalam perkataan dan perbuatannya selalu mengandung adab kesopanan yang mulia;
7. Suka memaafkan (Al-Afwu), yaitu sikap dan perilaku seseorang yang suka memaafkan kesalahan orang lain yang pernah diperbuat terhadapnya.
b. Akhlak buruk atau tercela (Al-Akhlaqul Madzmuumah), yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang buruk itu berasal dari penyakit hati yang keji, seperti iri hati, ujub, dengki, sombong, munafik, hasud, berprasangka buruk, dan penyakit-penyakit hati yang lainnya, akhlak yang buruk dapat mengakibatkan berbagai macam kerusakan baik bagi orang itu sendiri, orang lain yang di sekitarnya maupun kerusakan lingkungan sekitarnya.
Akhlak yang buruk yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang buruk terhadap Tuhan antara lain:
1. Takabbur (Al-Kibru), yaitu suatu sikap yang menyombongkan diri, sehingga tidak mengakui kekuasaan Allah di alam ini, termasuk mengingkari nikmat Allah yang ada padanya;
2. Musyrik (Al-Isyraak), yaitu suatu sikap yang mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya, dengan cara menganggapnya bahwa ada suatu makhluk yang menyamai kekuasaan-Nya;
3. Murtad (Ar-Riddah), yaitu sikap yang meninggalkan atau keluar dari agama Islam, untuk menjadi kafir;
4. Munafiq (An-Nifaaq), yaitu suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan hatinya dalam kehidupan beragama;
5. Riya (Ar-Riyaa), yaitu suatu sikap yang selalu menunjuk-nunjukkan perbuatan baik yang dilakukannya. Maka ia berbuat bukan karena Allah, melainkan hanya ingin dipuji oleh sesama manusia. Jadi perbuatan ini kebalikan dari sikap ikhlas;
6. Boros atau berpoya-poya (Al-Israaf), yaitu perbuatan yang selalu melampaui batas-batas ketentuan agama. Tuhan melarang bersikap boros, karena hal itu dapat melakukan dosa terhadap-Nya, merusak perekonomian manusia, merusak hubungan sosial, serta merusak diri sendiri;
7. Rakus atau tamak (Al-Itirshul atau Ath-Thama’u), yaitu suatu sikap yang tidak pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah apa yang seharusnya ia miliki, tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Hal ini termasuk kebalikan dari rasa cukup (Al-Qana’ah) dan merupakan akhlak buruk terhadap Allah, karena melanggar ketentuan larangan-Nya.
Akhlak yang buruk terhadap sesama manusia antara lain:
1. Mudah marah (Al-Ghadhab), yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak dapat ditahan oleh kesadarannya, sehingga menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan orang lain. Kemarahan dalam diri setiap manusia, merupakan bagian dari kejadiannya. Oleh karena itu, agama Islam memberikan tuntunan, agar sifat itu dapat terkendali dengan baik;
2. Iri hati atau dengki (Al-Hasadu atau Al-Hiqdu), yaitu sikap kejiwaan seseorang yang selalu menginginkan agar kenikmatan dan kebahagiaan hidup orang lain bisa hilang sama sekali;
3. Mengadu-adu (An-Namiimah), yaitu suatu perilaku yang suka memindahkan perkataan seseorang kepada orang lain, dengan maksud agar hubungan social keduanya rusak;
4. Mengumpat (Al-Ghiibah), yaitu suatu perilaku yang suka membicarakan perkataan seseorang kepada orang lain;
5. Bersikap congkak (Al-Ash’aru), yaitu suatu sikap dan perilaku yang menampilkan kesombongan, baik dilihat dari tingkah lakunya maupun perkataannya;
6. Sikap kikir (Al-Bukhlu), yaitu suatu sikap yang tidak mau memberikan nilai materi dan jasa kepada orang lain;
7. Berbuat aniaya (Azh-Zhulmu), yaitu suatu perbuatan yang merugikan orang lain, baik kerugian materiil maupun non materiil. Dan ada juga yang mengatakan, bahwa seseorang yang mengambil hak-hak orang lain, termasuk perbuatan dzalim (menganiaya).

2.2. Tujuan dan Sumber Akhlak
A. Tujuan Akhlak
Akhlak bertujuan hendak menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya dari makhluk-makhluk yang lainnya. Akhlak hendak menjadikan manusia/ orang yang berkelakuan baik, bertindak baik terhadap manusia, terhadap sesama makhluk, dan terhadap Allah, Tuhan yang menciptakan kita.
Sedangkan pelajaran akhlak atau ilmu akhlak bertujuan mengetahui perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik dan buruk, agar manusia dapat memegang dengan perangai-perangai yang baik dan menjauhkan diri dari perangai-perangai yang jahat, sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan masyarakat dimana tidak ada benci-membenci, curiga-mencurigai antara satu dengan yang lain, dimana tidak ada perkelahian, persengketaan dan tidak ada pukul-memukul antara sesama hamba Allah yang hidup di muka bumi ini.
Yang hendak dikendalikan oleh akhlak ialah tindakan lahir manusia, tetapi karena tindakan lahir itu tidak akan terjadi jika tidak didahului oleh gerak-gerik bathin, yaitu tindakan hati, maka tindakan bathin dan gerak-gerik hati pun termasuk lapangan yang diatur oleh akhlak manusia.
Tidak akan terjadi perkelahian kalau tidak didahului oleh tindakan bathin atau gerak-gerik hati, yaitu benci. Karena hal-hal tersebut diatas, dalam akhlak setiap orang diwajibkan menguasai hatinya, dan mengontrol hatinya sendiri, karena anggota bathin adalah sumber dari segala tindakan lahir. Jika setiap orang dapat menguasai tindakan bathinnya, maka dapatlah ia menjadi orang yang berakhlak baik.
Tegasnya baik-buruk itu tergantung kepada tindakan hatinya. Dalam hal ini Nabi bersabda:

Artinya:
“Ketahuilah dan bahwasannya, didalam tubuh itu ada sepotong daging yang apabila baik dia, baik pula tubuh seluruhnya, dan apabila rusak dia, rusaklah tubuh seluruhnya, yaitu dia hati”

Hati ini menunjukkan, bahwa hati itulah yang menguasai segenap tubuh manusia dan sekalian anggota mengikut pada perintahnya, meskipun anggota itu sudah terlalu payah. Dalam hal ini dapatlah diibaratkan bahwa jasad it bagaikan pemerintahan dalam diri kita, sedangkan hati menjadi pusat pemerintahan.
Seseorang yang mempunyai hati keras, meskipun badannya tidak begitu kuat, lebih diharapkan akan beroleh hasil pekerjaannya daripada seorang yang berbadan kuat tetapi hatinya lemah.
Untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera, perlu sekali tiap-tiap anggota masyarakatnya berakhlak yang baik. Kita ini sebagai anggota masyarakat tak dapat memisahkan diri dari masyarakat. Karena itu kita masing-masing pun mempunyai tugas tertentu dalam masyarakat. Tugas yang harus dilaksanakan untuk keselamatan masyarakatnya. Tugas yang tak boleh dihindarinya, tiap-tiap anggota masyarakat bertanggungjawab atas keselamatan masyarakat.
Karena itu Ibnu Rusyd mengungkapkan dalam sya’ir-nya sebagai berikut:
Artinya:
“Bangsa-bangsa itu hanya tegak dan jaya selama ada akhlak-nya, dan kalau mereka kehilangan akhlak, mereka pun punah-lah”
Betapa pentingnya keberadaan akhlak bagi kehidupan manusia, maka tepat sekali ungkapan Ibnu Rusyd tersebut diatas. Berkenaan dengan pentingnya akhlak itu, maka Allah mengurus seorang Rasul untuk menyempurnakan akhlak yang telah dibawakan oleh Nabi-Nabi terdahulu, sesuai dengan Sabda Nabi SAW:

Artinya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”
Bertolak dari kemuliaan akhlak bagi seseorang dalam hidup di tengah-tengah masyarakat, maka bagi setiap orang mukmin ingin mencapai derajat sebagai mukmin yang paling utama, haruslah menyempurnakan akhlaknya, sesuai dengan tuntunan Islam.

B. Sumber Akhlak
Sumber akhlak ini dapat dibedakan atas 2 (dua) bagian, yaitu akhlak yang bersumber keagamaan dan akhlak yang bersumber tanpa agama atau sekuler.
1. Akhlak yang bersumber keagamaan
Akhlak yang bersumber agama ini pun masih dapat dibedakan atas 2 (dua) bagian yaitu bersumber agama Samawi (Islam, Kristen, Yahudi) dan yang bersumber agama Ardi (Hindu, Budha, Kong Hu Chu, Sinto).
Akhlak yang bersumber agama ini memberikan bimbingan kepada manusia dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia berdasarkan aturan-aturan dalam agama itu sendiri.
Akhlak yang bersumber agama mempunyai 2 (dua) pendorong, yaitu iman kepada kekuatan ghaib serta sanksi-sanksi yang dikenakan masyarakat.
Dalam Islam sumber akhlak ialah Al-Quran dan Sunnah Rasul.
a. Al-Quran
Diantara ayat-ayat Al-Quran yang sebagai sumber akhlak antara lain:

Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan di hari kiamat dan banyak mengingat Allah”
Nabi Muhammad selalu memberikan contoh kepada sahabat-sahabatnya, beliau juga memikul tanah bersama-sama sahabatnya pada peperangan Khandaq, beliau memikul tanah diatas pundaknya, padahal beliau mengetahui bahwa ada yng menggantinya dengan sukarela dan senang hati, akan tetapi beliau ingin memberikan contoh tauladan dengan perbuatan itu, dan mengobarkan semangat iman didalam hati mereka.
Dalam ayat lain dijelaskan:
Artinya:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh”

b. As-Sunnah/Hadits sebagai sumber akhlak, antara lain:
Artinya:
“Bahwasannya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (budi pekerti)”

Artinya:
“Sempurna-sempurna orang mukmin imannya, ialah yang terbaik budi pekertinya. Dan sebaik-baiknya kamu ialah yang terbaik pergaulannya terhadap istrinya”


Artinya:
“Sungguh engkau tidak akan dapat memberikan kelapangan orang dengan harta-hartamu, tetapi kamu dapat memberikan kelapangan kepada mereka dengan muka yang berseri-seri dan budi pekerti yang baik (kamu tidak akan memperoleh wibawa)”

2. Akhlak yang bersumber selain Agama/sekuler
Dimaksudkan dengan sumber akhlak sekuler ialah yang berasal dari hasil ciptaan kebudayaan manusia semata-mata dengan mengenyampingkan pengaruh-pengaruh yang bersifat ghaib.
Sumber-sumber hasil ciptaan manusia yang menjadikan atau membentuk akhlak sangat banyak dan kompleks, tetapi sumber mana yang paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap akhlak sesesorang atau masyarakat, terhadap perbedaan pendapat di kalangan para ahli filsafat akhlak. Pada garis besarnya pendapat-pendapat itu dapat dibedakan atas:
a. Instink
Menurut para pengamat filsafat akhlak mengemukakan bahwa instink merupakan sumber dominan sebagai sumber akhlak.
Manusia itu memiliki instink yang dapat membedakan baik dan buruk yang diperoleh dengan semacam ilham atau suara hati kecil. Dengan ilham itu manusia dapat menilai sesuatu perbuatan atau kejadian yang tengah ia lihat atau sebelum ia melihat atau melakukan sesuatu itu sebagai peringatan baginya.
b. Pengalaman
Disamping instink, unsur pengalaman juga merupakan sumber yang dominan dalam pembentukkan norma-norma akhlak seseorang. Hal ini dapat dicontohkan, bahwa anak kecil mula-mula menilai obat itu baik, dapat mendatangkan kesembuhan penyakit yang dideritanya. Oleh karena itu akhlak dipengaruhi oleh kemajuan zaman, kecerdasan pikiran, beberapa eksperimen atau pengalaman-pengalaman manusia.
Teori pengalaman dalam masalah sumber akhlak ini masih dapat dibagi atas 3 (tiga) bagian:
1) Adat-Istiadat
Teori ini mengemukakan, bahwa norma-norma akhlak itu tumbuh dari sumber adat-istiadat atau kebiasaan, baik perorangan maupun kelompok. Kelestarian adat-istiadat dipertahankan dan dijaga dengan berbagai cara, misalnya apabila seseorang melanggar adat-istiadat tersebut ia dicela sebagai orang yang tidak beradat, sehingga ia dikucilkan dari pergaulan masyarakat.
2) Madhab Hedonisme (Teori Kenikmatan)
Teori ini menyatakan, bahwa norma-norma akhlak itu tumbuh dari sumber adanya kebahagiaan atau kelezatan. Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang mendatangkan kebahagiaan, dan perbuatan buruk ialah yang mendatangkan penderitaan. Teori kenikmatan ini pun terbagi atas 2 (dua):
a. Paham Egoistik Hedonisme
Menyatakan bahwa suatu perbuatan itu baik apabila mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya sang pelaku, walaupun mungkin mendatangkan penderitaan bagi orang lain. Dan perbuatan itu dianggap buruk kalau mendatangkan kebahagiaan bagi orang lain yang lebih banyak. Pelopornya Epicurus (Yunani) 341-270 SM.
b. Dalam Universalistik Hedonisme
Teori ini menyatakan, bahwa baik dan buruknya sesuatu perbuatan diukur dengan besar-kecilnya kebahagiaan yang ditimbulkannya, bukan untuk diri pelakunya saja, tetapi juga untuk sesama manusia bahkan untuk sesama makhluk. Dalam melihat kebahagiaan yang ditimbulkan tidak terbatas kepada keadaan yang langsung dan dekat, tetapi meliputi keadaan yang tidak langsung dan berpandangan jauh ke depan.
Kebahagiaan yang disuap dan mendatangkan kebahagiaan bagi yang menyuap, karena dapat tercapai apa yang dikehendaki dengan cara suap itu, namun hal itu justru akan menimbulkan kesengsaraan yang lebih parah, apabila masalah suap itu sampai membudaya. Maka dari itu suap tetap dipandang sebagai perbuatan buruk/jahat.

3) Madhab Evolution
Teori ini mengemukakan, bahwa norma baik dan buruk selalu berkembang mengikuti peningkatan dan perkembangan peradaban manusia. Maka dari itu pada masyarakat yang sudah lebih maju, pintar dan lebih cerdas, akhlaknya akan lebih sempurna dan jauh berpandangan ke depan. Paham ini bertolak dari teori Darwin, bahwa kehiduupan di ala mini senantiasa terjadi “selection of nature” (seleksi secara alamiah).

2.3. Akhlak ikut menjaga kelangsungan hidup manusia
Akhlak yang baik dapat menjaga kelangsungan hidup manusia, karena akhlak yang baik itu antara lain dapat:
a. Menciptakan manusia sebagai makhluk berkelakuan mulia, baik dihadapan Allah, maupun sesama manusia dan sesama makhluk lainnya;
b. Membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain (melalui perangainya);

c. Menciptakan manusia mencapai kedudukan yang tinggi dan sempurna menurut fitrah kemanusiaannya;
d. Menjaga kelangsungan hidup manusia, dengan menciptakan masyarakat yang tentram, sejahtera. Keadaan seperti ini benar-benar dapat terwujud manakala mereka berakhlak baik.
Betapa pentingnya keberadaan akhlak bagi kehidupan manusia, maka tepat sekali ungkapan Ibnu Rusyd tersebut, berkenaan dengan pentingnya akhlak itu, maka Allah mengutus seorang Rasul untuk menyempurnakan akhlak, yang telah dibawakan oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul dengan maksud utama untuk membina dan menyempurnakan akhlak. Tugas Nabi yang telah digariskan itu dalam sejarah hidupnya cukup menarik simpatik manusia untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran Risalahnya.
Ajaran risalah yang diajarkan Nabi memberikan kejelasan tentang faktor-faktor keutamaan akhlak, lengkap dengan menjelaskan segala segi kehidupan.
Bila kita memperhatikan segala ajaran yang dibawa oleh junjunan kita Nabi Muhammad S.A.W., maka kita mengerti bahwa Islam menghendaki manusia muslim yang sempurna akhlaknya, menghargai kemanusiaan yang melaksanakan kebajikan sebagai tugas hidupnya.
Adapun akhlak yang menjadikan manusia muslim yang sempurna ialah tersimpul dalam:
a. Budi pekerti yang dipraktekkan untuk diri sendiri dan untuk keluarga;
b. Budi pekerti yang diwujudkan kea lam kenyataan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat pergaulan;
c. Budi pekerti yang diperjuangkan untuk kemakmuran dan kejayaan Negara, tanah air, dan pemerintahnya.
Tiap-tiap muslim harus dapat mewujudkan kepada masyarakat dengan amal bakti bagi diri sendiri, bagi masyarakat dan bangsa. Jika semua telah dipenuhi oleh tiap-tiap muslim, maka akan tercapailah terwujud cita-cita yang selalu diidam-idamkan yaitu masyarakat yang adil dan makmur yang senantiasa mendapat ridha dari Allah S.W.T.

2.4. Akhlak terhadap sesama Manusia
A. Akhlak terhadap Orang tua
1. Peranan orang tua dalam kehidupan seorang anak
Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia lahir ke dunia ini adalah melalui ibu-bapak. Susah dan payah dialami oleh ibu dan bapak untuk memelihara anaknya, baik ketika masih dalam kandungan, maupun setelah lahir ke dunia. Pertama-tama ibu harus mengandung kita selama kurang lebih 9 bulan. Selama dalam kandungan, ibu menanggung kepayahan, keletikan dan kesakitan.
Sementara agar beban yang ditanggung oleh ibu-bapak jangan terlalu berat, maka tiap sebulan sekali atau setengah bulan sekali diperiksa ke dokter. Hal ini dilakukan demi keselamatan bayi yang ada dalam kandungan. Demikian pula ketika hendak melahirkan, perasaan gelisah, takut, sakit menjadi satu, dan nyawa ibulah sebagai taruhannya. Bersamaan itu pula bapak berdoa agar istrinya melahirkan dengan selamat, dan anak yang lahir ke dunia juga dalam keadaan selamat dan sehat.
Setelah bayi lahir ke dunia, lalu dipelihara dan dijaganya dengan penuh perhatian, disusui, disuapi makanan, dimandikan, diayun dan dibuai ketika menangis, agar cepat diam dan tidur. Kalau bayi sakit, ibu dan bapak gelisah pula, mereka mencarikan obat agar cepat pulih kembali kesehatannya.
Selanjutnya, ibu dan bapak mengajarkan kita duduk, berdiri, berjalan, bercakap-cakap, bermain-main dan menjaga agar kesehatan kita tetap baik dan pertumbuhan fisik dan rohaninya tetap normal.

Ibu-bapak kita benar-benar berjasa, dan jasanya tidak bias dibeli sama sekali dan tak dapat diukur oleh apapun juga. Merekalah yang mengusahakan agar kita dapat makan dan membelikan pakaian untuk kita. Selanjutnya kita dimasukkan ke lembaga pendidikan, mulai dari sekolah pendidikan dasar sampai menengah dan mungkin sampai ke perguruan tinggi, agar kita berakhlak baik, teguh mengamalkan ajaran-ajaran agama dan mempunyai masa depan yang gemilang.

2. Cara berbuat baik kepada orang tua
Cara berbuata baik kepada ibu-bapak diantaranya:
a. Mendengarkan nasihat-nasihatnya dengan penuh perhatian, mengikuti anjurannya dan tidak melanggar larangannya;
b. Tidak boleh membentak ibu-bapak, menyakiti hatinya, apalagi memukul. Ibu dan bapak harus diurus atau dirawat dengan baik;
c. Bersikap merendahkan diri dan mendoakan agar mereka selalu dalam ampunan dan kasih sayang Allah S.W.T.;
d. Sebelum berangkat dan pulang sekolah hendaklah membantu orang tua;
e. Menjaga nama baik kedua orang tua di masyarakat;
f. Memberi nafkah, pakaian, dan membayarkan hutangnya kalau mereka tidak mampu atau sudah tua;
g. Menanamkan hubungan kasih sayang terhadap orang yang telah ada hubungan kasih sayang oleh ibu-bapaknya;

3. Membiasakan diri berbuat baik kepada kedua orang tua
Membiasakan diri berbuat baik kepada kedua orang tua adalah perbuatan yang amat mulia. Bahkan dianjurkan setiap setelah shalat mendoakan kedua orang tua. Apabila kedua orang tua itu telah meninggal misalanya, maka kita sebagai anaknya berkewajiban berbakti kepada mereka seperti:

a. Menyembahyangkan jenazahnya;
b. Memintakan ampunan kepada Allah;
c. Menyempurnakan janjinya;
d. Memuliakan sahabatnya;
e. Menghubungi anak keluarganya yang bertalian dengan keduanya.

B. Akhlak terhadap Saudara
1. Peranan Saudara dalam kehidupan sehari-hari
Peranan saudara dalam kehidupan kita sangatlah penting, karena pada dasarnya kita adalah makhluk sosial yang senantiasa saling bantu-membantu dalam menempuh kehidupannya, terutama saudaranya yang terdekat.
Oleh karena itu, saudara masih ada hubungan darah dengan kita, maka merekalah yang paling pertama kita minta bantuannya. Lebih-lebih bila kita sedang mendapat musibah atau bencana lainnya, misalnya sakit, kecurian dan sebagainya. Karena itu, hubungan antara saudara dengan saudara haruslah dipelihara dengan sebaik-baiknya, jangan sampai retak, jangan sampai timbul hal-hal yang menyebabkan tali silaturahmi terputus, apalagi kalau sampai timbul perpecahan atau permusuhan dan percekcokan satu sama lain.
2. Cara berbuat baik kepada saudara
Cara berbuat baik kepada saudara diantaranya:
a. Menghormati dan mencintai mereka. Karena kita dengan saudara asal-mulanya dari ayah dan ibu. Mencintai mereka sama dengan kita mencintai diri sendiri;
b. Menghormati saudara yang lebih tua sebagaimana menghormati orang tua, mengindahkan nasihat-nasihatnya dan tidak menentang perintahnya;

c. Mencintai dan menyayangi yang lebih kecil dengan penuh kasih sayang sebagaimana orang tua menyayangi mereka;
d. Saling bantu-membantu sekuat tenaga, sabar terhadap mereka. Jika bersalah, berilah peringatan secara halus dan ramah-tamah.

C. Akhlak terhadap Tetangga
1. Peranan Tetangga dalam kehidupan seseorang
Kita hidup ditengah-tengah masyarakat, laksana ikan dengan air. Harus saling menghidupi dan menjernihkan. Tidak boleh sombong kepada orang lain, terutama dengan kerabat dan tetangga. Mereka ini adalah saudara kita yang paling dekat dan cepat menolong dikala kita mendapat musibah atau malapetaka. Meskipun mempunyai family sekian banyak dan terkemuka, tetapi tak mustahil tempat tinggalnya berjauhan.
Oleh karena itu, dikala kita mendapat musibah seperti sakit, meninggal dunia, atau kesusahan-kesusahan lainnya, maka yang paling duluan tampil datang adalah tetangga kita. Karena itu berlakulah kepadanya secara baik menurut tuntunan agama.

2. Cara berbuat baik kepada tetangga
Cara berbuat baik kepda tetangga diantaranya:
a. Menolong dan membantunya bila membutuhkan pertolongan, walaupun mereka tidak mau membantu kita;
b. Member hutang bila meminta bantuan hutang kepada kita;
c. Ikut meringankan beban dan kesengsaraan bila tetangga itu miskin dan sengsara, sekiranya kita mempunyai kelebihan;
d. Menjenguknya bila sakit atau membantunya dengan obat;
e. Bila tetangga ada yang meninggal dunia, hendaknya ikut belasungkawa, dan mengantarkan jenazahnya ke kuburnya;
f. Bila tetangga mendapat kesenangan atau nasib baik dan menggembirakan, sebaiknya menyampaikan ucapan selamat kepadanya;
g. Ikut meringankan beban musibah tetangga yang meninggal;
h. Bila ingin membuat rumah bertingkat, sebaiknya minta izin atau sepengetahuan tetangganya, disamping minta izin kepada pemerintah;
i. Menghindari perkataan atau tindakan yang menyakitkan tetangga. Bila berkata atau bertindak salah, sebaiknya segera minta maaf;
j. Jika boleh memamerkan sesuatu yang dibeli atau yang dimiliki kepada tetangga, baik berupa makanan ataupun yang lainnya, bila kita tidak ingin memberinya;
k. Jangan menyalakan atau membunyikan radio tape recorder atau TV terlalu keras, yang dapat membisingkan tentangga.

3. Membiasakan diri berbuat baik terhadap tetangga
a. Supaya senantiasa berbuat baik terhadap tetangga dalam segala situasi, dalam kehidupan sehari-harinya hingga meninggalnya tetangga itu;
b. Setiap orang muslim wajib memuliakan tetangganya, karena memuliakan tetangga merupakan salah satu akhlak mulia, yang harus dimiliki setiap muslim;
c. Kita diperintahkan agar suka member makanan kepada tetangga, terutama tetangga yang terdekat.

D. Akhlak terhadap Sesama Muslim
1. Peranan Persaudaraan sesame Muslim
Diantara sesama muslim yang lain adalah bersaudara. Oleh sebab itu, kita harus bersikap baik terhadap sesama muslim. Mereka itu bagaikan satu anggota badan, bilamana yang satu sakit atau ditimpa musibah, maka yang lain ikut merasakannya. Misalnya, kalau gigi seorang sakit, maka anggota badan yang lainnya ikut pula merasakannya. Demikian pula umat Islam, kalau ada salah seorang dari umat Islam ditimpa malapetaka, maka yang lain harus ikut merasakannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara bergotong royong dalam meringankan bebannya.

2. Cara berbuat baik terhadap sesama muslim
Cara berbuat baik terhadap sesama muslim diantaranya:
a. Member salam;
b. Memenuhi undangannya, terutama hari pertama dalam walimatul uruz;
c. Saling member nasihat;
d. Menjenguk ketika sakit, sambil mendoakan;
e. Mengantarkan jenazah orang islam;
f. Tidak bermusuhan selama 3 hari;
g. Tidak boleh bersikap sombong;
h. Tidak melahirkan kegembiraan disaat orang Islam yang lain ditimpa kesusahan;
i. Mau membela sesama muslim;
j. Menjunjung tinggi kehormatan, harta dan jiwa;
k. Mau mengusahakan perdamaian kalau terjadi perselisihan diantara sesama muslim;
l. Menutupi rahasianya;
m. Memberi bantuan disaat membutuhkan;
n. Menyantuni orang-orang miskin dan lemah di kalangan umat Islam;
o. Ikut membahagiakan sesama muslim.

3. Membiasakan diri untuk berbuat baik terhadap sesama Muslim
a. Harus saling memaafkan;
b. Harus saling menyelamatkan;
c. Jangan suka memfitnah;
d. Jangan berbuat dzalim;
e. Jangan berburuk sangka;
f. Jangan merusak

E. Akhlak terhadap Kaum Lemah
1. Pengertian dan cara berbuat baik kepada kaum lemah
Kaum lemah adalah orang-orang yang belum memiliki kemampuan dalam segala hal atau bidang tertentu. Tidak memiliki kemampuan ini biasanya menjadi penghambat untuk mencapai keinginannya (cita-citanya). Sebagai contoh yang termasuk orang-orang lemah misalnya, orang bodoh (tak berilmu pengetahuan), orang miskin (tak berharta), dan sebagainya.
Ajaran Islam telah menegaskan, bahwa siapa yang menolong orang lemah, niscaya Allah akan memberikan pertolongan. Sebaliknya mereka yang tidak mau menolong kaum lemah, niscaya Allah tidak menyukainya.
Pertolongan itu tidaklah hanya dilakukan terhadap sesama pemeluk agama Islam belaka, tetapi setiap pemeluk agama Islam harus pula melakukan pertolongan kepada sesama umat manusia, sekali pun lain agama. Bukankah agama Islam memerintahkan agar kita tetap berbakti kepada orang tua, sekali pun kedua-duanya berlainan agama dengan kita, juga memerintahkan kepada kita agar tetap berbuat baik kepada tetangga, sekali pun mereka itu orang-orang yang musyrik. Demikian pula terhadap seluruh umat manusia, baik Islam maupun bukan, kita harus selalu berakhlak baik kepada mereka, harus berkata dengan perkataan yang bagus dan harus memperlakukan mereka dengan layak.

Pada hakikatnya menolong manusia berarti juga menolong diri sendiri. Misalnya kita menjadi orang kaya yang sibuk dengan pekerjaannya, kemudian kita menolong beberapa orang yang menganggur dengan memberikan pekerjaan kepada mereka dalam satu perseroan terbatas yang kita pimpin. Tentu saja kerja mereka memberikan keuntungan kepada kita. Disinilah letak rahasinya, kita memperoleh rahmat Allah baik langsung maupun tidak, di dunia dan kelak di akhirat.
Sewajarnyalah bagi setiap pemuda dan pemudi yang masih berusia muda belia, segar bugar, sehat jasmani dan rohaninya mempunyai rasa kasih sayang kepada orang-orang lemah. Misalnya kepada orang cacat fisiknya atau mentalnya, orang yang lanjut usia, dan orang yang ditimpa kemiskinan. Generasi tua telah memberikan tauladan yang baik yang patut ditiru oleh generasi yang lahir pada periode berikutnya.

2. Membiasakan diri berbuat baik kepada kaum lemah
a. Menunjukkan kepada orang lain yang tersesat, dan menuntut orang buta di jalan yang ramai;
b. Memberikan tempat duduk kepada orang yang telah tua, orang buta, anak-anak dan wanita waktu berdesak-desakan kendaraan dalam bis, kereta api, dan sebagainya;
c. Memberi sedekah kepada peminta-minta dengan sikap yang baik;
d. Memberikan bantuan kepada panti asuhan yatim piatu dan rumah miskin;
e. Memberikan bantuan kepada korban bencana alam, berupa uang, pakaian, dan obat-obatan;
f. Menganggap pembantu rumah tangga sebagai anggota keluarga sendiri;

g. Suka menolong orang lain yang sangat memerlukan bantuan, diantaranya membantu orang miskin, orang cacat mental, orang cacat jasmani, dan lain-lain.

2.5. Urgensi Akhlak dalam Ritual Islam
Benarkah akhlak menjadi kunci sukses seseorang dunia akhirat? Apakah akhlak mempunyai eksistensi dalam Islam? Apakah akhlak menjadi penentu bagi seseorang untuk masuk syurga? Bukankah cukup hanya dengan Iman, dan banyak beribadah kita dapat masuk syurga? Apakah benar tujuan dari berbagai ibadah dalam Islam, seperti puasa, shalat, zakat, dan haji untuk membentuk akhlak mulia? Apakah tanpa akhlak mulia ibadah kita sia-sia?.
Untuk menjawab semua pertanyaan diatas, perlu kita telusuri dalam Al-Quran dan Hadits, ternyata banyak hadits dan ayat yang secara langsung maupun tidak langsung menghubungkan antara ritual/ibadah pembentukkan akhlak mulia, hal ini dapat kita perhatikan dari berbagai ritual dalam Islam, tenryata semuanya selalu berhubungan dengan pembentukkan akhlak mulia. Allah mengutus Rasulullah untuk menyempurnakan akhlak manusia,” sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. (H.R. Ahmad).
Hadits tersebut dapat dipahami bahwa Rasulullah diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, mungkin kita akan bertanya, apakah Rasulullah diutus hanya untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak? Tentu tidak hanya itu saja, tetapi pada dasarnya syariat yang dibawa para Rasul bermuar pada pembentukkan akhlak. Apakah manusia tidak mampu memperbaiki akhlaknya sendiri, sehingga perlu diutus seorang Rasul? Bukankah manusia dibekali akal? Dengan akalnya manusia dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk? Mungkin disatu sisi argument tersebut ada benarnya, tetapi akal manusia terbatas, kalau akal dapat menentukan baik dan buruk, tentunya Allah tidak perlu lagi menurunkan kita-kitabnya, tidk perlu mengutus para Nabi untuk menjelaskan Ayat-ayat-Nya.
Allah sangat peduli kepada manusia, Allah sangat tahu kemampuan manusia, meskipun diberi akal manusia tetap makhluk yang lemah pengetahuannya terbatas. Sehingga Allah perlu mengutus Nabi dan Rasul untuk menjelaskan Kitab-Kitab-Nya dan menunjukkan manusia jalan yang lurus, dan akhlak yang mulia.
Berbagai ritual diperintahkan Allah melalui para Nabi dan Rasul, ternyata banyak bermuara pada pembentukkan akhlak, seperti dalam perintah Shalat,” dan dirikanlah shalat, sesungguhnya Shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar,” (Q.S. Al-Ankabut:45). Ayat tersebut secara jelas menyatakan, bahwa muara dari ibadah Shalat adalah terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan munkar, pada hakikatnya adalah terbentuknya manusia berakhlak mulia, bahkan kalau kita telusuri proses ritual Shalat selalu dimulai dengan berbagai persyaratan tertentu, seperti harus bersih badan, pakaian dan tempat, dengan cara mandi dan wudhu, intinya Shalat dipersiapkan untuk membentuk sikap manusia selalu bersih, patuh, tata peraturan, dan melatih seseorang untuk tepat waktu.
Dalam hadits Qudsi Allah berfirman,” sesungguhnya Aku menerima shalat dari seseorang yang mengerjakannya dengan khusuk karena kebesaran-Ku, dan ia tidak mengharapkan anugerah dari Shalatnya.
Sebagai hamba-Ku, ia tidak menghabiskan waktu malam karena bermaksiat kepada-Ku, menghabiskan waktu siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, mengasihi orang miskin, Ibnu Sabili, mengasihi diri, dan menyantuni orang terkena musibah.
Ternyata, Allah menerima shalat seseorang bukan karena sebagai hamba, tetapi lebih kepada kemuliaan akhlaknya, seperti ikhlas tanpa pamrih, tidak bekerja karena atasan, menyantuni anak yatim, orang miskin, orang yang terkena musibah, tidak bermaksiat. Bila akhlak kita belum baik, maka shalat belum diterima, bahkan ada kemungkinan kita termasuk orang-orang tidak berakhlak, lebih dari itu, jika kita belum mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, sebenarnya kita telah gagal dalam ritual shalat, dan kepribadian kita diragukan.
Selanjutnya, akhlak juga dapat menentukan beriman atau tidaknya seseorang,” demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman. Para sahabat bertanya, siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: orang yang tidak menyimpan rahasia kejelekan tetangganya (H. R. Muslim). Hadits tersebut secara nyata mengandung arti bahwa secara meyakinkan orang yang berakhlak buruk kepada tetangganya oleh Rasulullah dianggap tidak beriman, selama ini mungkin kita menganggap perbuatan jahat kita kepada orang lain atau tetangga sebagai sesuatu yang biasa, sesuatu yang tidak akan berpengaruh pada eksistensi keimanan, padahal kalau kita mengetahui, ternyata berakhlak jelek sangat besar pengaruhnya terhadap keimanan.
Bahkan manusia paling jelek disisi Allah pada hari kiamat adalah manusia berakhlak jelek,” sesungguhnya manusia paling jelek disisi Allah pada hari kiamat adalah seseorang yang ditinggalkan orang lain, karena menghindari kejelekannya.” (H.R. Bukhari). Ternyata Allah menggolongkan manusia yang tidak berakhlak termasuk manusia yang paling jelek dihadapan-Nya. Sebaliknya orang yang paling dicintai oleh Rasulullah adalah yang paling baik akhlaknya, sesungguhnya orang yang paling aku cintai dia yang paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (H.R. At-Tirmidzi).
Ternyata orang mukmin yang sempurna imannya bukan karena banyak ibadahnya, tetapi yang baik akhlaknya,” orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Abu Daud). Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa kita belum sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kita menafkahkan harta yang kita cintai, menafkahkan harta kepada orang yang sangat memerlukan adalah wujud dari kesantunan dan kedermawanan seseorang, dan sikap itu merupakan bukti kemuliaan akhlaknya, “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran:92).
Demikian juga orang bertakwa dan berakhlak mulia dijamin masuk syurga,” penyebab utama masuknya manusia ke syurga, karena bertakwa kepada Allah dan kemuliaan akhlaknya.” (H. R. Tirmidzi). Biasanya orang bertakwa akan berbuat dan bersikap baik dan mengutamakan akhlak mulia, perbuatan baik merupakan wujud kemuliaan akhlaknya, sedangkan perbuatan baik akan menghapus perbuatan-perbuatan buruk,” sesungguhnya perbuatan-perbuatan (akhlak) yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk.” (Q.S. Hud:114). Ternyata keberhasilan ritual seseorang disisi Allah dilihat dari sejauhmana ia telah menghiasi diri dengan akhlak yang mulia.


BAB III
PENUTUP


3.1. Simpulan
Dari sekian banyak uraian yang kami kemukakan, maka kami dapat menyimpulkan bahwa:
a. Akhlak itu artinya tabiat, budi pekerti, watak, tatakrama, kesusilaan, sopan santun, dan moral. Sedangkan jenisnya terbagi kepada dua bagian yaitu akhlak terpuji (akhlakul mahmudah) dan akhlak tercela (akhlakul mazmumah);
b. Akhlak bertujuan untuk menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya dari makhluk-makhluk yang lainnya. Sedangkan sumbernya akhlak itu dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu akhlak yang bersumber keagamaan dan akhlak yang bersumber tanpa agama;
c. Akhal yang baik itu dapat menjaga kelangsungan hidup manusia;
d. Akhlak terhadap sesama manusia itu antara lain akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap saudara, akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap sesama muslim, dan akhlak terhadap kaum lemah;
e. Akhlak itu dapat mengantarkan seorang hamba dekat dengan khaliqnya, orang yang suka berderma dekat Allah, dekat dengan Syurga, dekat dengan manusia, serta jauh dari neraka. Maka dari itu, kita harus memahami urgensi akhlak dalam ritual Islam.

3.2. Saran
Penulis menyusun Makalah ini untuk memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah TPKI dengan pokok bahasan mengenai “Urgensi Akhlak terhadap Sesama Manusia”, maka penulis akan menyampaikan saran sebagai berikut:

a. Kita sebagai manusia jangan sekali-kali melakukan akhlak yang buruk, tetapi perbanyaklah melakukan akhlak yang baik;
b. Sebagai orang muslim, kita harus berbuat baik terhadap sesama manusia yaitu kepada saudara, orang tua, kaum lemah dan tetangga. Walau pun kaum lemah dan tetangga itu bukan orang muslim atau berlainan agama.


DAFTAR PUSTAKA


- Moh. Rifai, 1994, Aqidah Akhlak MA Kelas I, Semarang : CV.WICAKSANA;
- H. Atjep Effendi, 1994, Aqidah Akhlak MTs Kelas III, Bandung : CV.ARMICO;
- Mahyuddin, 1999, Kuliah Akhlak Tasawuf, Jakarta : KALAM MULIA
- http://riwayat.wordpress.com/2008/05/01/urgensi-akhlak-dalam-ritual-islam/.