Senin, 11 Januari 2010

URGENSI AKHLAK TERHADAP SESAMA MANUSIA

KATA PENGANTAR


Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Segala Puji bagi ALLAH, Tuhan Semesta Alam yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya dan Karunia-Nya, Shalawat serta Salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W., keluarganya, para sahabat, dan seluruh umatnya. Kami bersyukur kepada Illahi Rabbi yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga Makalah yang berjudul: “Urgensi Akhlak Terhadap Sesama Manusia” dapat terselesaikan.
Materi dalam Makalah ini disusun berdasarkan Studi Pustaka dan Referensi-referensi yang sesuai dengan tujuan, agar pada umumnya dapat lebih memahami tentang Akhlak, dan Urgensi Manusia dalam Akhlak tersebut.
Kami menyadari, bahwa dalam Makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu kepada para pembaca khususnya, kami mengharapkan Saran dan Kritik demi kesempurnaan Makalah ini.
Semoga Makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya. Amin.



Sukabumi, Januari 2010


Penulis



BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam persoalan Akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak berkewajiban menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam. Kualitas keberagaman justru ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat berbicara tentang syarat rukun, sah atau tidak sah, maka akhlak menekankan pada kualitas dari perbuatan, misalnya beramal dilihat dari keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusuannya, berjuang dilihat dari kesabarannya, haji dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, harta dilihat dari aspek mana dari mana dan untuk apa, jabatan dilihat dari ukuran apa yang telah diberikan, bukan apa yang diterima.
Dengan demikian, dikarenakan akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam, maka Islam sebagai agama yang bisa dilihat dari berbagai dimensi, sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai aturan. Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama berisi perintah dan larangan, ada perintah keras (wajib) dan larangn keras (haram), ada juga perintah anjuran (sunat) dan larangan anjuran (makruh).
Apalagi pada zaman sekarang ini, banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Disatu sisi, kita mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti agama ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam masalah akhlak kurang diperhatikan, sehingga tidak dapat disalahkan bila ada keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awam, seperti ungkapan, “wah…udah ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua”, atau ucapan: “dia sih agamanya bagus, tapi sama tetangga tidak pedulian…..”, dan lain-lain.
Seharusnya, ucapan-ucapan seperti ini atau pun semisal dengan ini menjadi cambuk bagi kita untuk mengoreksi diri dan membenahi akhlak Islam, bukanlah agama yang mengabaikan akhlak, bahkan Islam mementingkan akhlak. Yang perlu diingat, bahwa tauhid sebagai sisi pokok/inti, Islam yang memang seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara penyempurnaannya. Dan akhlak mempunyai hubungan yang erat, Tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap ALLAH, dan ini merupakan pokok inti akhlak seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya, berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang, maka semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila seseorang mywahhid memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pembahasan akan dititikberatkan pada “Urgensi Akhlak Terhadap Sesama Manusia”.

1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada Makalah ini terdiri dari:
a. Apa definisi dari Akhlak dan apa saja jenis-jenis akhlak itu?
b. Apa tujuan Akhlak itu? Dan darimana sumbernya!
c. Apakah Akhlak ikut menjaga kelangsungan hidup manusia?
d. Apa saja Akhlak terhadap sesama manusia?
e. Apa urgensi Akhlak dalam Ritual Islam?

1.3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui definisi Akhlak dan jenis-jenis akhlak
b. Untuk mengetahui Tujuan akhlak dan sumber akhlak
c. Untuk mengetahui Akhlak ikut menjaga kelangsungan hidup manusia
d. Untuk mengetahui Akhlak terhadap sesama manusia
e. Untuk mengetahui Urgensi Akhlak dalam ritual Islam

1.4. Kegunaan Penulisan
Berdasarkan studi pustaka menggali bahan-bahan dari sumber buku (referensi) yang ada, maka Makalah ini disusun dengan pembagian menjadi 3 (tiga) BAB, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP

1.5. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Makalah ini, BAB I merupakan Pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II merupakan Pembahasan tentang “Urgensi Akhlak Terhadap Sesama Manusia”, yang membahas tentang Apa Definisi Akhlak dan Jenis-jenis Akhlak, Apa Tujuan Akhlak dan Sumber Akhlak, Apakah Akhlak ikut menjaga Kelangsungan Hidup Manusia, Apa saja Akhlak terhadap Sesama Manusia, dan Apa Urgensi Akhlak dalam Ritual Islam.
BAB III berisi Penutup yang memuat tentang Kesimpulan dan Saran dari Penulisan akhir Makalah ini.

BAB II
URGENSI AKHLAK TERHADAP SESAMA MANUSIA


2.1. Definisi dan Jenis-jenis Akhlak
A. Definisi Akhlak
Kata “Akhlak” berasal dari Bahasa Arab, Jamak dari Khuluq, yang artinya tabiat, budi pekerti, watak, atau kesopanan. Sinonim kata Akhlak ialah tatakrama, kesusilaan, sopan santun (Bahasa Indonesia), moral, ethic (Bahasa Inggris), ethos, ethikos (Bahasa Yunani).
Untuk mengetahui definisi Akhlak menurut istilah, dibawah ini terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya:
a. Ibnu Maskawaih mendefinisikan, Akhlak adalah sikap jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih dahulu);
b. Prof. DR. Ahmad Amin menjelaskan, sementara orang membuat definisi Akhlak, bahwa yang disebut Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan Akhlak;
c. Al-Qurthuby mendefinisikan, Akhlak adalah suatu perbuatan manusia yang bersumber dari adab kesopanannya yang disebut Akhlak, karena perbuatan itu termasuk bagian darinya;
d. Muhammad bin Ilaan Ash-Shadieqy mendefinisikan, Akhlak adalah suatu pembawaan dalam diri manusia, yang dapat menimbulkan perbuatan baik, dengan cara yang mudah (tanpa dorongan dari orang lain);
e. Abu Bakar Jabir Al-Jazairy mendefinisikan, Akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, yang menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara yang disengaja;
f. Imam Al-Ghazali mendefinisikan Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan, tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.
Al-Qurthuby menekankan bahwa akhlak itu merupakan bagian dari kejadian manusia. Oleh karena itu, kata al-khuluk tidak dapat dipisahkan pengertiannya dengan kata al-khiiqah, yaitu fitrah yang dapat mempengaruhi perbuatan setiap manusia.
Imam Al-Ghazaly menekankan, bahwa Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, yang dapat dinilai baik atau buruk, dengan menggunakan ukuran ilmu pengetahuan dan norma agama.
Muhammad bin Ilaan Ash-Shadieqy, Ibnu Maskawaih dan Abu Bakar Jabir Al-Jazairy menekankan, bahwa Akhlak adalah keadaan jiwa yang selalu menimbulkan perbuatan yang gampang dilakukan. Meskipun ketiganya menekankan keadaan jiwa sebagai sumber timbulnya akhlak, namun dari sisi lain mereka berbeda pendapat, yaitu:
1. Muhammad bin Ilaan Ash-Shadieqy menekankan hanya perbuatan baik saja yang disebutnya akhlak;
2. Ibnu Maskawaih menekankan seluruh perbuatan manusia yang disebutnya akhlak;
3. Abu Bakar Jabir Al-Jazairy menjelaskan perbuatan baik dan buruk yang disebutnya akhlak.


B. Jenis-Jenis Akhlak
Utama akhlak menyatakan, bahwa Akhlak yang baik merupakan sifat para Nabi dan orang-orang Shiddiq, sedangkan akhlak yang buruk merupakan sifat Syaithan dan orang-orang yang tercela.
Maka pada dasarnya, Akhlak itu menjadi 2 (dua) jenis, diantaranya:
a. Akhlak baik atau terpuji (Al-Akhlaaqul Mahmuudah), yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang baik yaitu akhlak yang diridhoi oleh ALLAH S.W.T., akhlak yang baik itu dapat diwujudkan dengan mendekatkan diri kita kepada ALLAH yaitu dengan mematuhi segala perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, mengikuti ajaran-ajaran dari Sunnah Rasulullah S.A.W., mencegah diri kita untuk mendekati yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar, seperti firman ALLAH dalam Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik untuk manusia, menuju kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada ALLAH”.
Akhlak yang baik menurut Imam Ghazali ada 4 (empat) perkara, yaitu bijaksana, memelihara diri dari sesuatu yang tidak baik, keberanian (menundukkan kekuatan hawa nafsu), dan bersifat adil. Jelasnya, ia merangkum sifat-sifat seperti berbakti pada keluarga dan Negara, hidup bermasyarakat dan bersilaturahim, berani mempertahankan agama, senantiasa bersyukur dan berterima kasih, sabar dan ridha dengan kesengsaraan, berbicara benar dan sebagainya.
Akhlak yang baik yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang baik terhadap Tuhan antara lain:
1. Bertaubat (At-Taubah), yaitu suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan berusaha menjauhinya, serta melakukan perbuatan baik;
2. Bersabar (Ash-Shabru), yaitu suatu sikap yang betah atau dapat menahan diri pada kesulitan yang dihadapinya. Tetapi bukan berarti bahwa sabar itu langsung menyerah tanpa upaya untuk melepaskan diri dari kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Maka sabar yang dimaksudkannya adalah sikap yang diawali dengan ikhtisar, lalu diakhiri dengan ridha dan ikhlas, bila seseorang dilanda suatu cobaan dari Tuhan;
3. Bersyukur (Asy-Syukru), yaitu suatu sikap yang selalu ingin memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, nikmat yang telah diberikan oleh ALLAH kepadanya, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Lalu disertai dengan peningkatan pendekatan diri kepada yang member nikmat, yaitu ALLAH;
4. Bertawakkal (At-Tawakkal), yaitu menyerahkan segala urusan kepada ALLAH setelah berbuat semaksimal mungkin, untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, syarat utama yang harus dipenuhi bila seseorang ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkannya, ia harus lebih dahulu berupaya sekuat tenaga, lalu menyerahkan ketentuannya kepada ALLAH. Maka dengan cara yang demikian itu, manusia dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya;
5. Ikhlas (Al-Ikhlaash), yaitu sikap menjauhkan diri dari riya (menunjuk-nunjukkan kepada orang lain) ketika mengerjakan amal baik, maka amalan seseorang dapat dikatakan jernih, bila dikerjakannya dengan ikhlas;
6. Raja (Ar-Rajaa), yaitu sikap jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari ALLAH S.W.T., setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, bila tidak mengerjakan penyebabnya, lalu menunggu sesuatu yang diharapkannya, maka hal itu disebut “tamanni”;
7. Bersikap takut (Al-Khauf), yaitu suatu sikap jiwa yang sedang menunggu sesuatu yang tidak disenangi dari ALLAH, maka manusia perlu berupaya agar apa yang ditakutkan itu, tidak akan terjadi.
Akhlak yang baik terhadap sesama manusia antara lain:
1. Belas kasihan atau sayang (Asy-Syafaqah), yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berbuat baik dan menyantuni orang lain;
2. Rasa persaudaraan (Al-Ikhaa), yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan baik dan bersatu dengan orang lain, karena ada keterikatan bathin dengannya;
3. Member nasihat (An-Nashiihah), yaitu suatu upaya untuk memberi petunjuk-petunjuk yang baik kepada orang lain dengan menggunakan perkataan, baik ketika orang yang dinasihati telah melakukan hal-hal yang buruk, maupun belum. Sebab kalau dinasihati ketika ia telah melakukan perbuatan buruk, berarti diharapkan agar ia berhenti melakukannya. Tetapi kalau dinasihati ketia ia belum melakukan perbuatan itu, berarti diharapkan agar ia tidak akan melakukannya;
4. Memberi pertolongan (An-Nashru), yaitu suatu upaya untuk membantu orang lain, agar tidak mengalami suatu kesulitan;
5. Menahan amarah (Kazmul Ghaizhi), yaitu upaya menahan emosi, agar tidak dikuasai oleh perasaan marah terhadap orang lain;
6. Sopan santun (Al-Hilmu), yaitu sikap jiwa yang lemah lembut terhadap orang lain, sehingga dalam perkataan dan perbuatannya selalu mengandung adab kesopanan yang mulia;
7. Suka memaafkan (Al-Afwu), yaitu sikap dan perilaku seseorang yang suka memaafkan kesalahan orang lain yang pernah diperbuat terhadapnya.
b. Akhlak buruk atau tercela (Al-Akhlaqul Madzmuumah), yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang buruk itu berasal dari penyakit hati yang keji, seperti iri hati, ujub, dengki, sombong, munafik, hasud, berprasangka buruk, dan penyakit-penyakit hati yang lainnya, akhlak yang buruk dapat mengakibatkan berbagai macam kerusakan baik bagi orang itu sendiri, orang lain yang di sekitarnya maupun kerusakan lingkungan sekitarnya.
Akhlak yang buruk yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang buruk terhadap Tuhan antara lain:
1. Takabbur (Al-Kibru), yaitu suatu sikap yang menyombongkan diri, sehingga tidak mengakui kekuasaan Allah di alam ini, termasuk mengingkari nikmat Allah yang ada padanya;
2. Musyrik (Al-Isyraak), yaitu suatu sikap yang mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya, dengan cara menganggapnya bahwa ada suatu makhluk yang menyamai kekuasaan-Nya;
3. Murtad (Ar-Riddah), yaitu sikap yang meninggalkan atau keluar dari agama Islam, untuk menjadi kafir;
4. Munafiq (An-Nifaaq), yaitu suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan hatinya dalam kehidupan beragama;
5. Riya (Ar-Riyaa), yaitu suatu sikap yang selalu menunjuk-nunjukkan perbuatan baik yang dilakukannya. Maka ia berbuat bukan karena Allah, melainkan hanya ingin dipuji oleh sesama manusia. Jadi perbuatan ini kebalikan dari sikap ikhlas;
6. Boros atau berpoya-poya (Al-Israaf), yaitu perbuatan yang selalu melampaui batas-batas ketentuan agama. Tuhan melarang bersikap boros, karena hal itu dapat melakukan dosa terhadap-Nya, merusak perekonomian manusia, merusak hubungan sosial, serta merusak diri sendiri;
7. Rakus atau tamak (Al-Itirshul atau Ath-Thama’u), yaitu suatu sikap yang tidak pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah apa yang seharusnya ia miliki, tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Hal ini termasuk kebalikan dari rasa cukup (Al-Qana’ah) dan merupakan akhlak buruk terhadap Allah, karena melanggar ketentuan larangan-Nya.
Akhlak yang buruk terhadap sesama manusia antara lain:
1. Mudah marah (Al-Ghadhab), yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak dapat ditahan oleh kesadarannya, sehingga menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan orang lain. Kemarahan dalam diri setiap manusia, merupakan bagian dari kejadiannya. Oleh karena itu, agama Islam memberikan tuntunan, agar sifat itu dapat terkendali dengan baik;
2. Iri hati atau dengki (Al-Hasadu atau Al-Hiqdu), yaitu sikap kejiwaan seseorang yang selalu menginginkan agar kenikmatan dan kebahagiaan hidup orang lain bisa hilang sama sekali;
3. Mengadu-adu (An-Namiimah), yaitu suatu perilaku yang suka memindahkan perkataan seseorang kepada orang lain, dengan maksud agar hubungan social keduanya rusak;
4. Mengumpat (Al-Ghiibah), yaitu suatu perilaku yang suka membicarakan perkataan seseorang kepada orang lain;
5. Bersikap congkak (Al-Ash’aru), yaitu suatu sikap dan perilaku yang menampilkan kesombongan, baik dilihat dari tingkah lakunya maupun perkataannya;
6. Sikap kikir (Al-Bukhlu), yaitu suatu sikap yang tidak mau memberikan nilai materi dan jasa kepada orang lain;
7. Berbuat aniaya (Azh-Zhulmu), yaitu suatu perbuatan yang merugikan orang lain, baik kerugian materiil maupun non materiil. Dan ada juga yang mengatakan, bahwa seseorang yang mengambil hak-hak orang lain, termasuk perbuatan dzalim (menganiaya).

2.2. Tujuan dan Sumber Akhlak
A. Tujuan Akhlak
Akhlak bertujuan hendak menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya dari makhluk-makhluk yang lainnya. Akhlak hendak menjadikan manusia/ orang yang berkelakuan baik, bertindak baik terhadap manusia, terhadap sesama makhluk, dan terhadap Allah, Tuhan yang menciptakan kita.
Sedangkan pelajaran akhlak atau ilmu akhlak bertujuan mengetahui perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik dan buruk, agar manusia dapat memegang dengan perangai-perangai yang baik dan menjauhkan diri dari perangai-perangai yang jahat, sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan masyarakat dimana tidak ada benci-membenci, curiga-mencurigai antara satu dengan yang lain, dimana tidak ada perkelahian, persengketaan dan tidak ada pukul-memukul antara sesama hamba Allah yang hidup di muka bumi ini.
Yang hendak dikendalikan oleh akhlak ialah tindakan lahir manusia, tetapi karena tindakan lahir itu tidak akan terjadi jika tidak didahului oleh gerak-gerik bathin, yaitu tindakan hati, maka tindakan bathin dan gerak-gerik hati pun termasuk lapangan yang diatur oleh akhlak manusia.
Tidak akan terjadi perkelahian kalau tidak didahului oleh tindakan bathin atau gerak-gerik hati, yaitu benci. Karena hal-hal tersebut diatas, dalam akhlak setiap orang diwajibkan menguasai hatinya, dan mengontrol hatinya sendiri, karena anggota bathin adalah sumber dari segala tindakan lahir. Jika setiap orang dapat menguasai tindakan bathinnya, maka dapatlah ia menjadi orang yang berakhlak baik.
Tegasnya baik-buruk itu tergantung kepada tindakan hatinya. Dalam hal ini Nabi bersabda:

Artinya:
“Ketahuilah dan bahwasannya, didalam tubuh itu ada sepotong daging yang apabila baik dia, baik pula tubuh seluruhnya, dan apabila rusak dia, rusaklah tubuh seluruhnya, yaitu dia hati”

Hati ini menunjukkan, bahwa hati itulah yang menguasai segenap tubuh manusia dan sekalian anggota mengikut pada perintahnya, meskipun anggota itu sudah terlalu payah. Dalam hal ini dapatlah diibaratkan bahwa jasad it bagaikan pemerintahan dalam diri kita, sedangkan hati menjadi pusat pemerintahan.
Seseorang yang mempunyai hati keras, meskipun badannya tidak begitu kuat, lebih diharapkan akan beroleh hasil pekerjaannya daripada seorang yang berbadan kuat tetapi hatinya lemah.
Untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera, perlu sekali tiap-tiap anggota masyarakatnya berakhlak yang baik. Kita ini sebagai anggota masyarakat tak dapat memisahkan diri dari masyarakat. Karena itu kita masing-masing pun mempunyai tugas tertentu dalam masyarakat. Tugas yang harus dilaksanakan untuk keselamatan masyarakatnya. Tugas yang tak boleh dihindarinya, tiap-tiap anggota masyarakat bertanggungjawab atas keselamatan masyarakat.
Karena itu Ibnu Rusyd mengungkapkan dalam sya’ir-nya sebagai berikut:
Artinya:
“Bangsa-bangsa itu hanya tegak dan jaya selama ada akhlak-nya, dan kalau mereka kehilangan akhlak, mereka pun punah-lah”
Betapa pentingnya keberadaan akhlak bagi kehidupan manusia, maka tepat sekali ungkapan Ibnu Rusyd tersebut diatas. Berkenaan dengan pentingnya akhlak itu, maka Allah mengurus seorang Rasul untuk menyempurnakan akhlak yang telah dibawakan oleh Nabi-Nabi terdahulu, sesuai dengan Sabda Nabi SAW:

Artinya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”
Bertolak dari kemuliaan akhlak bagi seseorang dalam hidup di tengah-tengah masyarakat, maka bagi setiap orang mukmin ingin mencapai derajat sebagai mukmin yang paling utama, haruslah menyempurnakan akhlaknya, sesuai dengan tuntunan Islam.

B. Sumber Akhlak
Sumber akhlak ini dapat dibedakan atas 2 (dua) bagian, yaitu akhlak yang bersumber keagamaan dan akhlak yang bersumber tanpa agama atau sekuler.
1. Akhlak yang bersumber keagamaan
Akhlak yang bersumber agama ini pun masih dapat dibedakan atas 2 (dua) bagian yaitu bersumber agama Samawi (Islam, Kristen, Yahudi) dan yang bersumber agama Ardi (Hindu, Budha, Kong Hu Chu, Sinto).
Akhlak yang bersumber agama ini memberikan bimbingan kepada manusia dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia berdasarkan aturan-aturan dalam agama itu sendiri.
Akhlak yang bersumber agama mempunyai 2 (dua) pendorong, yaitu iman kepada kekuatan ghaib serta sanksi-sanksi yang dikenakan masyarakat.
Dalam Islam sumber akhlak ialah Al-Quran dan Sunnah Rasul.
a. Al-Quran
Diantara ayat-ayat Al-Quran yang sebagai sumber akhlak antara lain:

Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan di hari kiamat dan banyak mengingat Allah”
Nabi Muhammad selalu memberikan contoh kepada sahabat-sahabatnya, beliau juga memikul tanah bersama-sama sahabatnya pada peperangan Khandaq, beliau memikul tanah diatas pundaknya, padahal beliau mengetahui bahwa ada yng menggantinya dengan sukarela dan senang hati, akan tetapi beliau ingin memberikan contoh tauladan dengan perbuatan itu, dan mengobarkan semangat iman didalam hati mereka.
Dalam ayat lain dijelaskan:
Artinya:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh”

b. As-Sunnah/Hadits sebagai sumber akhlak, antara lain:
Artinya:
“Bahwasannya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (budi pekerti)”

Artinya:
“Sempurna-sempurna orang mukmin imannya, ialah yang terbaik budi pekertinya. Dan sebaik-baiknya kamu ialah yang terbaik pergaulannya terhadap istrinya”


Artinya:
“Sungguh engkau tidak akan dapat memberikan kelapangan orang dengan harta-hartamu, tetapi kamu dapat memberikan kelapangan kepada mereka dengan muka yang berseri-seri dan budi pekerti yang baik (kamu tidak akan memperoleh wibawa)”

2. Akhlak yang bersumber selain Agama/sekuler
Dimaksudkan dengan sumber akhlak sekuler ialah yang berasal dari hasil ciptaan kebudayaan manusia semata-mata dengan mengenyampingkan pengaruh-pengaruh yang bersifat ghaib.
Sumber-sumber hasil ciptaan manusia yang menjadikan atau membentuk akhlak sangat banyak dan kompleks, tetapi sumber mana yang paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap akhlak sesesorang atau masyarakat, terhadap perbedaan pendapat di kalangan para ahli filsafat akhlak. Pada garis besarnya pendapat-pendapat itu dapat dibedakan atas:
a. Instink
Menurut para pengamat filsafat akhlak mengemukakan bahwa instink merupakan sumber dominan sebagai sumber akhlak.
Manusia itu memiliki instink yang dapat membedakan baik dan buruk yang diperoleh dengan semacam ilham atau suara hati kecil. Dengan ilham itu manusia dapat menilai sesuatu perbuatan atau kejadian yang tengah ia lihat atau sebelum ia melihat atau melakukan sesuatu itu sebagai peringatan baginya.
b. Pengalaman
Disamping instink, unsur pengalaman juga merupakan sumber yang dominan dalam pembentukkan norma-norma akhlak seseorang. Hal ini dapat dicontohkan, bahwa anak kecil mula-mula menilai obat itu baik, dapat mendatangkan kesembuhan penyakit yang dideritanya. Oleh karena itu akhlak dipengaruhi oleh kemajuan zaman, kecerdasan pikiran, beberapa eksperimen atau pengalaman-pengalaman manusia.
Teori pengalaman dalam masalah sumber akhlak ini masih dapat dibagi atas 3 (tiga) bagian:
1) Adat-Istiadat
Teori ini mengemukakan, bahwa norma-norma akhlak itu tumbuh dari sumber adat-istiadat atau kebiasaan, baik perorangan maupun kelompok. Kelestarian adat-istiadat dipertahankan dan dijaga dengan berbagai cara, misalnya apabila seseorang melanggar adat-istiadat tersebut ia dicela sebagai orang yang tidak beradat, sehingga ia dikucilkan dari pergaulan masyarakat.
2) Madhab Hedonisme (Teori Kenikmatan)
Teori ini menyatakan, bahwa norma-norma akhlak itu tumbuh dari sumber adanya kebahagiaan atau kelezatan. Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang mendatangkan kebahagiaan, dan perbuatan buruk ialah yang mendatangkan penderitaan. Teori kenikmatan ini pun terbagi atas 2 (dua):
a. Paham Egoistik Hedonisme
Menyatakan bahwa suatu perbuatan itu baik apabila mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya sang pelaku, walaupun mungkin mendatangkan penderitaan bagi orang lain. Dan perbuatan itu dianggap buruk kalau mendatangkan kebahagiaan bagi orang lain yang lebih banyak. Pelopornya Epicurus (Yunani) 341-270 SM.
b. Dalam Universalistik Hedonisme
Teori ini menyatakan, bahwa baik dan buruknya sesuatu perbuatan diukur dengan besar-kecilnya kebahagiaan yang ditimbulkannya, bukan untuk diri pelakunya saja, tetapi juga untuk sesama manusia bahkan untuk sesama makhluk. Dalam melihat kebahagiaan yang ditimbulkan tidak terbatas kepada keadaan yang langsung dan dekat, tetapi meliputi keadaan yang tidak langsung dan berpandangan jauh ke depan.
Kebahagiaan yang disuap dan mendatangkan kebahagiaan bagi yang menyuap, karena dapat tercapai apa yang dikehendaki dengan cara suap itu, namun hal itu justru akan menimbulkan kesengsaraan yang lebih parah, apabila masalah suap itu sampai membudaya. Maka dari itu suap tetap dipandang sebagai perbuatan buruk/jahat.

3) Madhab Evolution
Teori ini mengemukakan, bahwa norma baik dan buruk selalu berkembang mengikuti peningkatan dan perkembangan peradaban manusia. Maka dari itu pada masyarakat yang sudah lebih maju, pintar dan lebih cerdas, akhlaknya akan lebih sempurna dan jauh berpandangan ke depan. Paham ini bertolak dari teori Darwin, bahwa kehiduupan di ala mini senantiasa terjadi “selection of nature” (seleksi secara alamiah).

2.3. Akhlak ikut menjaga kelangsungan hidup manusia
Akhlak yang baik dapat menjaga kelangsungan hidup manusia, karena akhlak yang baik itu antara lain dapat:
a. Menciptakan manusia sebagai makhluk berkelakuan mulia, baik dihadapan Allah, maupun sesama manusia dan sesama makhluk lainnya;
b. Membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain (melalui perangainya);

c. Menciptakan manusia mencapai kedudukan yang tinggi dan sempurna menurut fitrah kemanusiaannya;
d. Menjaga kelangsungan hidup manusia, dengan menciptakan masyarakat yang tentram, sejahtera. Keadaan seperti ini benar-benar dapat terwujud manakala mereka berakhlak baik.
Betapa pentingnya keberadaan akhlak bagi kehidupan manusia, maka tepat sekali ungkapan Ibnu Rusyd tersebut, berkenaan dengan pentingnya akhlak itu, maka Allah mengutus seorang Rasul untuk menyempurnakan akhlak, yang telah dibawakan oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul dengan maksud utama untuk membina dan menyempurnakan akhlak. Tugas Nabi yang telah digariskan itu dalam sejarah hidupnya cukup menarik simpatik manusia untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran Risalahnya.
Ajaran risalah yang diajarkan Nabi memberikan kejelasan tentang faktor-faktor keutamaan akhlak, lengkap dengan menjelaskan segala segi kehidupan.
Bila kita memperhatikan segala ajaran yang dibawa oleh junjunan kita Nabi Muhammad S.A.W., maka kita mengerti bahwa Islam menghendaki manusia muslim yang sempurna akhlaknya, menghargai kemanusiaan yang melaksanakan kebajikan sebagai tugas hidupnya.
Adapun akhlak yang menjadikan manusia muslim yang sempurna ialah tersimpul dalam:
a. Budi pekerti yang dipraktekkan untuk diri sendiri dan untuk keluarga;
b. Budi pekerti yang diwujudkan kea lam kenyataan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat pergaulan;
c. Budi pekerti yang diperjuangkan untuk kemakmuran dan kejayaan Negara, tanah air, dan pemerintahnya.
Tiap-tiap muslim harus dapat mewujudkan kepada masyarakat dengan amal bakti bagi diri sendiri, bagi masyarakat dan bangsa. Jika semua telah dipenuhi oleh tiap-tiap muslim, maka akan tercapailah terwujud cita-cita yang selalu diidam-idamkan yaitu masyarakat yang adil dan makmur yang senantiasa mendapat ridha dari Allah S.W.T.

2.4. Akhlak terhadap sesama Manusia
A. Akhlak terhadap Orang tua
1. Peranan orang tua dalam kehidupan seorang anak
Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia lahir ke dunia ini adalah melalui ibu-bapak. Susah dan payah dialami oleh ibu dan bapak untuk memelihara anaknya, baik ketika masih dalam kandungan, maupun setelah lahir ke dunia. Pertama-tama ibu harus mengandung kita selama kurang lebih 9 bulan. Selama dalam kandungan, ibu menanggung kepayahan, keletikan dan kesakitan.
Sementara agar beban yang ditanggung oleh ibu-bapak jangan terlalu berat, maka tiap sebulan sekali atau setengah bulan sekali diperiksa ke dokter. Hal ini dilakukan demi keselamatan bayi yang ada dalam kandungan. Demikian pula ketika hendak melahirkan, perasaan gelisah, takut, sakit menjadi satu, dan nyawa ibulah sebagai taruhannya. Bersamaan itu pula bapak berdoa agar istrinya melahirkan dengan selamat, dan anak yang lahir ke dunia juga dalam keadaan selamat dan sehat.
Setelah bayi lahir ke dunia, lalu dipelihara dan dijaganya dengan penuh perhatian, disusui, disuapi makanan, dimandikan, diayun dan dibuai ketika menangis, agar cepat diam dan tidur. Kalau bayi sakit, ibu dan bapak gelisah pula, mereka mencarikan obat agar cepat pulih kembali kesehatannya.
Selanjutnya, ibu dan bapak mengajarkan kita duduk, berdiri, berjalan, bercakap-cakap, bermain-main dan menjaga agar kesehatan kita tetap baik dan pertumbuhan fisik dan rohaninya tetap normal.

Ibu-bapak kita benar-benar berjasa, dan jasanya tidak bias dibeli sama sekali dan tak dapat diukur oleh apapun juga. Merekalah yang mengusahakan agar kita dapat makan dan membelikan pakaian untuk kita. Selanjutnya kita dimasukkan ke lembaga pendidikan, mulai dari sekolah pendidikan dasar sampai menengah dan mungkin sampai ke perguruan tinggi, agar kita berakhlak baik, teguh mengamalkan ajaran-ajaran agama dan mempunyai masa depan yang gemilang.

2. Cara berbuat baik kepada orang tua
Cara berbuata baik kepada ibu-bapak diantaranya:
a. Mendengarkan nasihat-nasihatnya dengan penuh perhatian, mengikuti anjurannya dan tidak melanggar larangannya;
b. Tidak boleh membentak ibu-bapak, menyakiti hatinya, apalagi memukul. Ibu dan bapak harus diurus atau dirawat dengan baik;
c. Bersikap merendahkan diri dan mendoakan agar mereka selalu dalam ampunan dan kasih sayang Allah S.W.T.;
d. Sebelum berangkat dan pulang sekolah hendaklah membantu orang tua;
e. Menjaga nama baik kedua orang tua di masyarakat;
f. Memberi nafkah, pakaian, dan membayarkan hutangnya kalau mereka tidak mampu atau sudah tua;
g. Menanamkan hubungan kasih sayang terhadap orang yang telah ada hubungan kasih sayang oleh ibu-bapaknya;

3. Membiasakan diri berbuat baik kepada kedua orang tua
Membiasakan diri berbuat baik kepada kedua orang tua adalah perbuatan yang amat mulia. Bahkan dianjurkan setiap setelah shalat mendoakan kedua orang tua. Apabila kedua orang tua itu telah meninggal misalanya, maka kita sebagai anaknya berkewajiban berbakti kepada mereka seperti:

a. Menyembahyangkan jenazahnya;
b. Memintakan ampunan kepada Allah;
c. Menyempurnakan janjinya;
d. Memuliakan sahabatnya;
e. Menghubungi anak keluarganya yang bertalian dengan keduanya.

B. Akhlak terhadap Saudara
1. Peranan Saudara dalam kehidupan sehari-hari
Peranan saudara dalam kehidupan kita sangatlah penting, karena pada dasarnya kita adalah makhluk sosial yang senantiasa saling bantu-membantu dalam menempuh kehidupannya, terutama saudaranya yang terdekat.
Oleh karena itu, saudara masih ada hubungan darah dengan kita, maka merekalah yang paling pertama kita minta bantuannya. Lebih-lebih bila kita sedang mendapat musibah atau bencana lainnya, misalnya sakit, kecurian dan sebagainya. Karena itu, hubungan antara saudara dengan saudara haruslah dipelihara dengan sebaik-baiknya, jangan sampai retak, jangan sampai timbul hal-hal yang menyebabkan tali silaturahmi terputus, apalagi kalau sampai timbul perpecahan atau permusuhan dan percekcokan satu sama lain.
2. Cara berbuat baik kepada saudara
Cara berbuat baik kepada saudara diantaranya:
a. Menghormati dan mencintai mereka. Karena kita dengan saudara asal-mulanya dari ayah dan ibu. Mencintai mereka sama dengan kita mencintai diri sendiri;
b. Menghormati saudara yang lebih tua sebagaimana menghormati orang tua, mengindahkan nasihat-nasihatnya dan tidak menentang perintahnya;

c. Mencintai dan menyayangi yang lebih kecil dengan penuh kasih sayang sebagaimana orang tua menyayangi mereka;
d. Saling bantu-membantu sekuat tenaga, sabar terhadap mereka. Jika bersalah, berilah peringatan secara halus dan ramah-tamah.

C. Akhlak terhadap Tetangga
1. Peranan Tetangga dalam kehidupan seseorang
Kita hidup ditengah-tengah masyarakat, laksana ikan dengan air. Harus saling menghidupi dan menjernihkan. Tidak boleh sombong kepada orang lain, terutama dengan kerabat dan tetangga. Mereka ini adalah saudara kita yang paling dekat dan cepat menolong dikala kita mendapat musibah atau malapetaka. Meskipun mempunyai family sekian banyak dan terkemuka, tetapi tak mustahil tempat tinggalnya berjauhan.
Oleh karena itu, dikala kita mendapat musibah seperti sakit, meninggal dunia, atau kesusahan-kesusahan lainnya, maka yang paling duluan tampil datang adalah tetangga kita. Karena itu berlakulah kepadanya secara baik menurut tuntunan agama.

2. Cara berbuat baik kepada tetangga
Cara berbuat baik kepda tetangga diantaranya:
a. Menolong dan membantunya bila membutuhkan pertolongan, walaupun mereka tidak mau membantu kita;
b. Member hutang bila meminta bantuan hutang kepada kita;
c. Ikut meringankan beban dan kesengsaraan bila tetangga itu miskin dan sengsara, sekiranya kita mempunyai kelebihan;
d. Menjenguknya bila sakit atau membantunya dengan obat;
e. Bila tetangga ada yang meninggal dunia, hendaknya ikut belasungkawa, dan mengantarkan jenazahnya ke kuburnya;
f. Bila tetangga mendapat kesenangan atau nasib baik dan menggembirakan, sebaiknya menyampaikan ucapan selamat kepadanya;
g. Ikut meringankan beban musibah tetangga yang meninggal;
h. Bila ingin membuat rumah bertingkat, sebaiknya minta izin atau sepengetahuan tetangganya, disamping minta izin kepada pemerintah;
i. Menghindari perkataan atau tindakan yang menyakitkan tetangga. Bila berkata atau bertindak salah, sebaiknya segera minta maaf;
j. Jika boleh memamerkan sesuatu yang dibeli atau yang dimiliki kepada tetangga, baik berupa makanan ataupun yang lainnya, bila kita tidak ingin memberinya;
k. Jangan menyalakan atau membunyikan radio tape recorder atau TV terlalu keras, yang dapat membisingkan tentangga.

3. Membiasakan diri berbuat baik terhadap tetangga
a. Supaya senantiasa berbuat baik terhadap tetangga dalam segala situasi, dalam kehidupan sehari-harinya hingga meninggalnya tetangga itu;
b. Setiap orang muslim wajib memuliakan tetangganya, karena memuliakan tetangga merupakan salah satu akhlak mulia, yang harus dimiliki setiap muslim;
c. Kita diperintahkan agar suka member makanan kepada tetangga, terutama tetangga yang terdekat.

D. Akhlak terhadap Sesama Muslim
1. Peranan Persaudaraan sesame Muslim
Diantara sesama muslim yang lain adalah bersaudara. Oleh sebab itu, kita harus bersikap baik terhadap sesama muslim. Mereka itu bagaikan satu anggota badan, bilamana yang satu sakit atau ditimpa musibah, maka yang lain ikut merasakannya. Misalnya, kalau gigi seorang sakit, maka anggota badan yang lainnya ikut pula merasakannya. Demikian pula umat Islam, kalau ada salah seorang dari umat Islam ditimpa malapetaka, maka yang lain harus ikut merasakannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara bergotong royong dalam meringankan bebannya.

2. Cara berbuat baik terhadap sesama muslim
Cara berbuat baik terhadap sesama muslim diantaranya:
a. Member salam;
b. Memenuhi undangannya, terutama hari pertama dalam walimatul uruz;
c. Saling member nasihat;
d. Menjenguk ketika sakit, sambil mendoakan;
e. Mengantarkan jenazah orang islam;
f. Tidak bermusuhan selama 3 hari;
g. Tidak boleh bersikap sombong;
h. Tidak melahirkan kegembiraan disaat orang Islam yang lain ditimpa kesusahan;
i. Mau membela sesama muslim;
j. Menjunjung tinggi kehormatan, harta dan jiwa;
k. Mau mengusahakan perdamaian kalau terjadi perselisihan diantara sesama muslim;
l. Menutupi rahasianya;
m. Memberi bantuan disaat membutuhkan;
n. Menyantuni orang-orang miskin dan lemah di kalangan umat Islam;
o. Ikut membahagiakan sesama muslim.

3. Membiasakan diri untuk berbuat baik terhadap sesama Muslim
a. Harus saling memaafkan;
b. Harus saling menyelamatkan;
c. Jangan suka memfitnah;
d. Jangan berbuat dzalim;
e. Jangan berburuk sangka;
f. Jangan merusak

E. Akhlak terhadap Kaum Lemah
1. Pengertian dan cara berbuat baik kepada kaum lemah
Kaum lemah adalah orang-orang yang belum memiliki kemampuan dalam segala hal atau bidang tertentu. Tidak memiliki kemampuan ini biasanya menjadi penghambat untuk mencapai keinginannya (cita-citanya). Sebagai contoh yang termasuk orang-orang lemah misalnya, orang bodoh (tak berilmu pengetahuan), orang miskin (tak berharta), dan sebagainya.
Ajaran Islam telah menegaskan, bahwa siapa yang menolong orang lemah, niscaya Allah akan memberikan pertolongan. Sebaliknya mereka yang tidak mau menolong kaum lemah, niscaya Allah tidak menyukainya.
Pertolongan itu tidaklah hanya dilakukan terhadap sesama pemeluk agama Islam belaka, tetapi setiap pemeluk agama Islam harus pula melakukan pertolongan kepada sesama umat manusia, sekali pun lain agama. Bukankah agama Islam memerintahkan agar kita tetap berbakti kepada orang tua, sekali pun kedua-duanya berlainan agama dengan kita, juga memerintahkan kepada kita agar tetap berbuat baik kepada tetangga, sekali pun mereka itu orang-orang yang musyrik. Demikian pula terhadap seluruh umat manusia, baik Islam maupun bukan, kita harus selalu berakhlak baik kepada mereka, harus berkata dengan perkataan yang bagus dan harus memperlakukan mereka dengan layak.

Pada hakikatnya menolong manusia berarti juga menolong diri sendiri. Misalnya kita menjadi orang kaya yang sibuk dengan pekerjaannya, kemudian kita menolong beberapa orang yang menganggur dengan memberikan pekerjaan kepada mereka dalam satu perseroan terbatas yang kita pimpin. Tentu saja kerja mereka memberikan keuntungan kepada kita. Disinilah letak rahasinya, kita memperoleh rahmat Allah baik langsung maupun tidak, di dunia dan kelak di akhirat.
Sewajarnyalah bagi setiap pemuda dan pemudi yang masih berusia muda belia, segar bugar, sehat jasmani dan rohaninya mempunyai rasa kasih sayang kepada orang-orang lemah. Misalnya kepada orang cacat fisiknya atau mentalnya, orang yang lanjut usia, dan orang yang ditimpa kemiskinan. Generasi tua telah memberikan tauladan yang baik yang patut ditiru oleh generasi yang lahir pada periode berikutnya.

2. Membiasakan diri berbuat baik kepada kaum lemah
a. Menunjukkan kepada orang lain yang tersesat, dan menuntut orang buta di jalan yang ramai;
b. Memberikan tempat duduk kepada orang yang telah tua, orang buta, anak-anak dan wanita waktu berdesak-desakan kendaraan dalam bis, kereta api, dan sebagainya;
c. Memberi sedekah kepada peminta-minta dengan sikap yang baik;
d. Memberikan bantuan kepada panti asuhan yatim piatu dan rumah miskin;
e. Memberikan bantuan kepada korban bencana alam, berupa uang, pakaian, dan obat-obatan;
f. Menganggap pembantu rumah tangga sebagai anggota keluarga sendiri;

g. Suka menolong orang lain yang sangat memerlukan bantuan, diantaranya membantu orang miskin, orang cacat mental, orang cacat jasmani, dan lain-lain.

2.5. Urgensi Akhlak dalam Ritual Islam
Benarkah akhlak menjadi kunci sukses seseorang dunia akhirat? Apakah akhlak mempunyai eksistensi dalam Islam? Apakah akhlak menjadi penentu bagi seseorang untuk masuk syurga? Bukankah cukup hanya dengan Iman, dan banyak beribadah kita dapat masuk syurga? Apakah benar tujuan dari berbagai ibadah dalam Islam, seperti puasa, shalat, zakat, dan haji untuk membentuk akhlak mulia? Apakah tanpa akhlak mulia ibadah kita sia-sia?.
Untuk menjawab semua pertanyaan diatas, perlu kita telusuri dalam Al-Quran dan Hadits, ternyata banyak hadits dan ayat yang secara langsung maupun tidak langsung menghubungkan antara ritual/ibadah pembentukkan akhlak mulia, hal ini dapat kita perhatikan dari berbagai ritual dalam Islam, tenryata semuanya selalu berhubungan dengan pembentukkan akhlak mulia. Allah mengutus Rasulullah untuk menyempurnakan akhlak manusia,” sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. (H.R. Ahmad).
Hadits tersebut dapat dipahami bahwa Rasulullah diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, mungkin kita akan bertanya, apakah Rasulullah diutus hanya untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak? Tentu tidak hanya itu saja, tetapi pada dasarnya syariat yang dibawa para Rasul bermuar pada pembentukkan akhlak. Apakah manusia tidak mampu memperbaiki akhlaknya sendiri, sehingga perlu diutus seorang Rasul? Bukankah manusia dibekali akal? Dengan akalnya manusia dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk? Mungkin disatu sisi argument tersebut ada benarnya, tetapi akal manusia terbatas, kalau akal dapat menentukan baik dan buruk, tentunya Allah tidak perlu lagi menurunkan kita-kitabnya, tidk perlu mengutus para Nabi untuk menjelaskan Ayat-ayat-Nya.
Allah sangat peduli kepada manusia, Allah sangat tahu kemampuan manusia, meskipun diberi akal manusia tetap makhluk yang lemah pengetahuannya terbatas. Sehingga Allah perlu mengutus Nabi dan Rasul untuk menjelaskan Kitab-Kitab-Nya dan menunjukkan manusia jalan yang lurus, dan akhlak yang mulia.
Berbagai ritual diperintahkan Allah melalui para Nabi dan Rasul, ternyata banyak bermuara pada pembentukkan akhlak, seperti dalam perintah Shalat,” dan dirikanlah shalat, sesungguhnya Shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar,” (Q.S. Al-Ankabut:45). Ayat tersebut secara jelas menyatakan, bahwa muara dari ibadah Shalat adalah terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan munkar, pada hakikatnya adalah terbentuknya manusia berakhlak mulia, bahkan kalau kita telusuri proses ritual Shalat selalu dimulai dengan berbagai persyaratan tertentu, seperti harus bersih badan, pakaian dan tempat, dengan cara mandi dan wudhu, intinya Shalat dipersiapkan untuk membentuk sikap manusia selalu bersih, patuh, tata peraturan, dan melatih seseorang untuk tepat waktu.
Dalam hadits Qudsi Allah berfirman,” sesungguhnya Aku menerima shalat dari seseorang yang mengerjakannya dengan khusuk karena kebesaran-Ku, dan ia tidak mengharapkan anugerah dari Shalatnya.
Sebagai hamba-Ku, ia tidak menghabiskan waktu malam karena bermaksiat kepada-Ku, menghabiskan waktu siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, mengasihi orang miskin, Ibnu Sabili, mengasihi diri, dan menyantuni orang terkena musibah.
Ternyata, Allah menerima shalat seseorang bukan karena sebagai hamba, tetapi lebih kepada kemuliaan akhlaknya, seperti ikhlas tanpa pamrih, tidak bekerja karena atasan, menyantuni anak yatim, orang miskin, orang yang terkena musibah, tidak bermaksiat. Bila akhlak kita belum baik, maka shalat belum diterima, bahkan ada kemungkinan kita termasuk orang-orang tidak berakhlak, lebih dari itu, jika kita belum mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, sebenarnya kita telah gagal dalam ritual shalat, dan kepribadian kita diragukan.
Selanjutnya, akhlak juga dapat menentukan beriman atau tidaknya seseorang,” demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman. Para sahabat bertanya, siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: orang yang tidak menyimpan rahasia kejelekan tetangganya (H. R. Muslim). Hadits tersebut secara nyata mengandung arti bahwa secara meyakinkan orang yang berakhlak buruk kepada tetangganya oleh Rasulullah dianggap tidak beriman, selama ini mungkin kita menganggap perbuatan jahat kita kepada orang lain atau tetangga sebagai sesuatu yang biasa, sesuatu yang tidak akan berpengaruh pada eksistensi keimanan, padahal kalau kita mengetahui, ternyata berakhlak jelek sangat besar pengaruhnya terhadap keimanan.
Bahkan manusia paling jelek disisi Allah pada hari kiamat adalah manusia berakhlak jelek,” sesungguhnya manusia paling jelek disisi Allah pada hari kiamat adalah seseorang yang ditinggalkan orang lain, karena menghindari kejelekannya.” (H.R. Bukhari). Ternyata Allah menggolongkan manusia yang tidak berakhlak termasuk manusia yang paling jelek dihadapan-Nya. Sebaliknya orang yang paling dicintai oleh Rasulullah adalah yang paling baik akhlaknya, sesungguhnya orang yang paling aku cintai dia yang paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (H.R. At-Tirmidzi).
Ternyata orang mukmin yang sempurna imannya bukan karena banyak ibadahnya, tetapi yang baik akhlaknya,” orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Abu Daud). Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa kita belum sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kita menafkahkan harta yang kita cintai, menafkahkan harta kepada orang yang sangat memerlukan adalah wujud dari kesantunan dan kedermawanan seseorang, dan sikap itu merupakan bukti kemuliaan akhlaknya, “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran:92).
Demikian juga orang bertakwa dan berakhlak mulia dijamin masuk syurga,” penyebab utama masuknya manusia ke syurga, karena bertakwa kepada Allah dan kemuliaan akhlaknya.” (H. R. Tirmidzi). Biasanya orang bertakwa akan berbuat dan bersikap baik dan mengutamakan akhlak mulia, perbuatan baik merupakan wujud kemuliaan akhlaknya, sedangkan perbuatan baik akan menghapus perbuatan-perbuatan buruk,” sesungguhnya perbuatan-perbuatan (akhlak) yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk.” (Q.S. Hud:114). Ternyata keberhasilan ritual seseorang disisi Allah dilihat dari sejauhmana ia telah menghiasi diri dengan akhlak yang mulia.


BAB III
PENUTUP


3.1. Simpulan
Dari sekian banyak uraian yang kami kemukakan, maka kami dapat menyimpulkan bahwa:
a. Akhlak itu artinya tabiat, budi pekerti, watak, tatakrama, kesusilaan, sopan santun, dan moral. Sedangkan jenisnya terbagi kepada dua bagian yaitu akhlak terpuji (akhlakul mahmudah) dan akhlak tercela (akhlakul mazmumah);
b. Akhlak bertujuan untuk menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya dari makhluk-makhluk yang lainnya. Sedangkan sumbernya akhlak itu dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu akhlak yang bersumber keagamaan dan akhlak yang bersumber tanpa agama;
c. Akhal yang baik itu dapat menjaga kelangsungan hidup manusia;
d. Akhlak terhadap sesama manusia itu antara lain akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap saudara, akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap sesama muslim, dan akhlak terhadap kaum lemah;
e. Akhlak itu dapat mengantarkan seorang hamba dekat dengan khaliqnya, orang yang suka berderma dekat Allah, dekat dengan Syurga, dekat dengan manusia, serta jauh dari neraka. Maka dari itu, kita harus memahami urgensi akhlak dalam ritual Islam.

3.2. Saran
Penulis menyusun Makalah ini untuk memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah TPKI dengan pokok bahasan mengenai “Urgensi Akhlak terhadap Sesama Manusia”, maka penulis akan menyampaikan saran sebagai berikut:

a. Kita sebagai manusia jangan sekali-kali melakukan akhlak yang buruk, tetapi perbanyaklah melakukan akhlak yang baik;
b. Sebagai orang muslim, kita harus berbuat baik terhadap sesama manusia yaitu kepada saudara, orang tua, kaum lemah dan tetangga. Walau pun kaum lemah dan tetangga itu bukan orang muslim atau berlainan agama.


DAFTAR PUSTAKA


- Moh. Rifai, 1994, Aqidah Akhlak MA Kelas I, Semarang : CV.WICAKSANA;
- H. Atjep Effendi, 1994, Aqidah Akhlak MTs Kelas III, Bandung : CV.ARMICO;
- Mahyuddin, 1999, Kuliah Akhlak Tasawuf, Jakarta : KALAM MULIA
- http://riwayat.wordpress.com/2008/05/01/urgensi-akhlak-dalam-ritual-islam/.