Senin, 21 Juni 2010

MASJID SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


MASJID SEBAGAI LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM



MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mandiri pada mata kuliah
Ilmu Pendidikan Islam Semester IV A Tahun Akademik 2009-2010
Dengan Dosen Mulyawan S. Nugraha, M.Ag, M.Pd





Oleh:
RIZKI AGUSTRIANA
NIM: 2008.1081




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SUKABUMI
Jl. Veteran I No. 36 Telp. (0266) 225464
Kota Sukabumi



KATA PENGANTAR


Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Segala puji bagi ALLAH, Tuhan semesta alam yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW, keluarganya, para sahabat dan seluruh umatnya. Kami bersyukur pada Ilahi Robbi yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga Makalah yang berjudul “Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam” dapat terselesaikan.
Materi dalam Makalah ini disusun berdasarkan Studi Pustaka dan Referensi-referensi yang sesuai, dengan tujuan agar manusia yang beragama Islam pada umumnya dapat lebih memahami tentang Masjid, dan sebagai Lembaga Pendidikan Islam tersebut.
Kami menyadari, bahwa dalam Makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca khususnya, kami mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan Makalah ini.
Semoga Makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya Amin.


Sukabumi, 26 Juni 2010


Penulis



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan
1.4. Kegunaan Penulisan
1.5. Sistematika Penulisan

BAB II MASJID SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
2.1. Pengertian Masjid
2.2. Fungsi Masjid
2.3. Sejarah Masjid
2.4. Pengertian Lembaga Pendidikan
2.5. Prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam
2.6. Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam
2.7. Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam

BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Masalah pertama yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Muhajirin adalah tempat tinggal. Untuk sementara, para Muhajirin bisa menginap di rumah-rumah kaum Anshor, tetapi beliau sendiri memerlukan suatu tempat khusus di tengah-tengah umatnya sebagai pusat kegiatan, sekaligus sebagai lambing persatuan dan kesatuan diantara kedua kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang yang berbeda itu.
Oleh karenanya, maka kegiatan yang pertama-tama dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW bersama dengan kaum muslimin adalah membangun masjid. Dalam membangun masjid itu Nabi Muhammad SAW juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Begitu pula kaum muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshor ikut pula bersama-sama membangun.
Setelah selesai membangun masjid, maka Nabi Muhammad SAW pindah menempati sebagian ruangannya yang memang khusus disediakan untuknya. Masjid itulah pusat kegiatan Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin, untuk secara bersama-sama membina masyarakat baru, masyarakat yang disinari oleh tauhid dan mencerminkan persatuan dan kesatuan umat. Di masjid itulah beliau bermusyawarah mengenai berbagai urusan, mendirikan Shalat berjamaah, membacakan Alquran, maka masjid itu merupakan pusat pendidikan dan pengajaran.
Sekarang ini, fungsi Masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Nabi.. hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja.
Sehubungan dengan hal tersebut, mka pembahasan akan dititikberatkan pada “Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam”.

1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada Makalah ini terdiri dari:
a. Apa pengertian dari Masjid itu?
b. Apa fungsi dari Masjid itu?
c. Bagaimana sejarah Masjid itu?
d. Apa pengertian dari Lembaga Pendidikan Islam itu?
e. Bagaimana prinsip-prinsip dari Lembaga Pendidikan Islam itu?
f. Bagaimana jenis-jenis dari Lembaga Pendidikan Islam itu?
g. Apakah Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam?

1.3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian Masjid
b. Untuk mengetahui fungsi Masjid
c. Untuk mengetahui sejarah Masjid
d. Untuk mengetahui pengertian Lembaga Pendidikan Islam
e. Untuk mengetahui prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam
f. Untuk mengetahui jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam
g. Untuk mengetahui Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam

1.4. Kegunaan Penulisan
Berdasarkan studi pustaka menggali bahan-bahan dari sumber buku (referensi) yang ada, maka Makalah ini disusun dengan pembagian menjadi 3 (tiga) bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III KESIMPULAN

1.5. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Makalah ini, Bab Pertama merupakan Pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua merupakan Pembahasan tentang “Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam” yang membahas tentang pengertian masjid, fungsi masjid, sejarah masjid, pengertian Lembaga Pendidikan Islam, prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam, jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam, dan Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam.
Bab Ketiga berisi Penutup yang memuat tentang Kesimpulan dan Saran dari penulisan akhir Maklah ini.

BAB II
MASJID SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


2.1. Pengertian Masjid
Masjid berasal dari kata Sajada yang artinya tempat sujud. Secara teknis sujud (Sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud mengandung arti menyembah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. Sedangkan sajadah dari kata Sajjadatun mengandung arti tempat yang banyak dipergunakan untuk sujud, kemudian mengerucut artinya menjadi selembar kain atau karpet yang dibuat khusus untuk shalat orang per orang. Oleh karena itu, karpet masjid yang sangat lebar, meski fungsinya sama tetapi tidak disebut sajadah.
Adapun masjid (Masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus. Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan masjid, oleh karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan masjid dalam pengertian khusus untuk menjalankan ibadah, terutama shalat berjamaah. Pengertian ini juga mengerucut menjadi masjid yang digunakan untuk shalat jumat disebut Masjid Jami. Karena shalat jumat diikuti oleh orang banyak, maka masjid Jami biasanya besar. Sedangkan masjid yang hanya digunakan untuk shalat lima waktu, bisa di perkampungan, bisa juga di kantor atau di tempat umum, dan biasanya tidak terlalu besar atau bahkan kecil sesuai dengan keperluan disebut Musholla, artinya tempat shalat. Di beberapa daerah, musholla terkadang diberi nama langgar atau surau.
Kata Masjid teulang sebanyak dua puluh delapan kali didalam Alquran. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takdzim.
Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna diatas. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid, yang artinya “tempat sujud”.
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata. Karena itu, Alquran surat Al-Jin ayat 18 menegaskan:

18. Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (Q.S. Al-Jin:18).

Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri”. (H.R. Bukhari dan Muslim, melalui Jabir bin Abdullah)

Jika dikaitkan dengan bumi ini, Masjid bukan hanya sekadar tempat sujud dan sarana penyucian. Disini kata masjid juga yang tidak lagi hanya berarti bangunan tempat shalat, atau bahkan bertayamum sebagai cara bersuci pengganti wudhu, tetapi kata masjid disini berarti juga tempat melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah SWT.
Alquran menggunakan kata sujud untuk berbagai arti. Sekali diartikan sebagai penghormatan dan pengakuan akan kelebihan pihak lain, seperti sujudnya Malaikat kepada Adam pada Alquran surat Al-Baqarah:34.

34. Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
[36] sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, Karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah. (Q.S. Al-Baqarah:34)

2.2. Fungsi Masjid
Fungsi Masjid dapat lebih efektif bila didalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas yang diperlukan adalah:
1. Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan;
2. Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum dan sesudah shalat berjamaah. Program inilah yang dikenal dengan istilah “i'tikaf ilmiah”. Langkah-langkah praktis yang ditempuh dalam operasionalisasinya adalah memberikan perencanaan terlebih dahulu dengan menampilkan beberapa pokok persoalan yang akan dibahas. Setelah berkumpul para audiens (makmum), diskusi dapat dimulai pada ruang yang telah tersedia. Kira-kira sepuluh sampai lima belas menit sebelum shalat berjamaah, diskusi dihentikan dan kemudian beralih pada “i'tikaf profetik” (dzikir). Sebaliknya, jika diskusi ini dilakukan seusai shalat berjamaah, i'tikaf profetik didahulukan dan kemudian diganti dengan i'tikaf ilmiah. Agar tak terlalu menjemukan diskusi ini dilakukan dua atau tiga minggu sekali;
3. Ruang kuliah, baik digunakan untuk training (tadrib) remaja masjid, atau juga untuk madrasah diniyah Omar Amin Hoesin memberi istilah ruang kuliah tersebut dengan sekolah masjid. Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi keagamaan untuk membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya lebih minim dibandingkan dengan proporsi materi umum;
4. Apabila memungkinkan, teknik khotbah dapat diubah dengan teknik komunikasi transaksi, yakni antara khotib dengan para audiens, terjadi dialog aktif satu sama lain, sehingga situasi dalam khotbah menjadi semakin aktif dan tidak monoton. Teknik dialog (hiwar) dapat diterapkan dalam khotbah Jumat manakala memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Syarat dan rukun khotbah masih diberlakukan;
b. Jamaah shalat rata-rata terdiri dari kaum intelektual atau kaum cendekiawan, sehingga hanya memungkinkan di Masjid Perkotaan, Pesantren, dan Masjid Kampus;
c. Diperlukan khotib (moderator) yang berwibawa, alim, dan professional, sehingga ia dapat mengarahkan jalannya diskusi dalam situasi khotbah dengan baik;
d. Perlu adanya perencanaan yang matang, sehingga jauh-jauh sebelumnya para audiens sudah siap terlibat langsung;
e. Masalah yang dibahas harus masalah yang waqiyah, yakni masalah-masalah kontemporer yang sedang hangat menimpa umat.

Secara konsepsional dapat dilihat dalam sejarah bahwa masjid pada zaman Rasul memiliki banyak fungsi diantaranya:
1. Sebagai tempat menjalankan ibadah shalat;
2. Sebagai tempat musyawarah (seperti gedung parlemen);
3. Sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut keadilan (seperti Kantor Pengadilan);
4. Secara tak langsung sebagai tempat pertemuan bisnis.

Yang lebih strategis lagi, pada zaman Rasul, masjid adalah pusat pengembangan masyarakat dimana setiap hari masyarakat berjumpa dan mendengar arahan-arahan dari Rasul tentang berbagai hal; prinsip-prinsip keberagaman tentang sistem masyarakat baru, juga ayat-ayat Alquran yang baru turun. Didalam masjid pula terjadi interaksi antar pemikiran dan antar karakter manusia. Adzan yang dikumandangkan lima kali sehari sangat efektif mempertemukan masyarakat dalam membangun kebersamaan.
Bersamaan dengan perkembangan zaman, terjadi ekses-ekses dimana bisnis dan urusan duniawi lebih dominan dalam pikiran, disbanding meski didalam masjid, dan hal ini memberikan inspirasi kepada Umar bin Chattab untuk membangun fasilitas didekat masjid, dimana masjid diutamakan untuk hal-hal yang jelas makna ukhrawinya, sementara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih berdimensi duniawi.
Umar membuat ruang khusus disamping masjid. Itulah asal-usulnya sehingga pada masa sejarah klasik (hingga sekarang), pasar dan sekolahan selalu berada di dekat masjid.

2.3. Sejarah Masjid
Ketika Rasulullah berhijrah ke Madina, langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid kecil yang berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurma. Dari sana beliau membangun masjid yang besar, membangun dunia ini, sehingga kota tempat beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah “tempat peradaban” atau paling tidak dari tempat tersebut lahir benih peradaban baru umat manusia.
Masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah adalah Masjid Quba’, kemudian disusul dengan Masjid Nabawi di Madinah. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang masjid yang dijuluki Allah sebagai masjid yang dibangun atas dasar taqwa (Q.S. At-Taubah:108) yang jelas bahwa keduanya masjid Quba dan Masjid Nabawi dibangun atas dasar ketaqwaan, dan setiap masjid saharusnya memiliki landasan dan fungsi seperti itu. Itulah sebabnya mengapa meruntuhkan bangunan kaum munafik yang juga mereka sebut masjid, dan menjadikan lokasi itu tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang, karena dibangunan tersebut tidak dijalankan fungsi masjid yang sebenarnya, yakni ketaqwaan.
Alquran melukiskan bangunan kaum munafik itu sebagai berikut:

108. Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (At-Taubah:108)

Masjid Nabawi di Madina telah mengabarkan fungsinya, sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh masjid Nabawi, yaitu:
1. Tempat ibadah (Shalat, Dzikir);
2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi, sosial, dan budaya);
3. Tempat pendidikan;
4. Tempat santunan sosial;
5. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya;
6. Tempat pengobatan para korban perang;
7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa;
8. Aula dan tempat menerima tamu;
9. Tempat menawan tahanan, dan
10. Pusat penerangan atau pembelaan agama.
Agaknya masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas, disebabkan antara lain oleh:
1. Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama;
2. Kemampuan Pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.
Manifestasi pemerintahan terlaksana didalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/ khotib maupun didalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura (musyawarah).
Keadaan itu kini telah berubah, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil alih sebagian peranan masjid di masa lalu, yaitu organisasi-organisasi keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintahan, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid.
Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam, itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak berarti bahwa masjid tidak dapat berperan didalam hal-hal tersebut.
Masjid, khususnya masjid besar, harus mampu melakukan kesepuluh peran tadi, paling tidak melalui para pembinanya guna mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas.
Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimilikinya harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya dan miskin.
Didalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, hal ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk:
a. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan;
b. Ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria, baik digunakan untuk shalat maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK);
c. Ruang pertemuan dan perpustakaan;
d. Ruang Poliklinik dan ruang untuk memandikan dan menkafankan mayat;
e. Ruang bermain, berolahraga dan berlatih bagi remaja.
Semua hal diatas harus diwarnai oleh kesederhanaan fisik bangunan, namun harus tetap menunjang peranan masjid ideal termaktub.
Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dipelihara. Segala sesuatu yang diduga mengurangi kesucian masjid atau dapat mengesankan, hal tersebut tidak boleh dilakukan didalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid.
Salah satu yang ditekankan oleh sebagian ulama sebagai sesuatu yang tidak wajar terlihat pada masjid (dan sekitarnya) adalah kehadiran para pengemis.
Untuk memelihara kesucian masjid, Allah berfirman agar para pengunjungnya memakai hiasan ketika mengunjungi masjid sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-A’raf ayat 31:

31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid[534], makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
[534] Maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka'bah atau ibadat-ibadat yang lain.
[535] Maksudnya: janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.

Rasulullah menganjurkan agar memakai wangi-wangian saat berkunjung ke masjid, dan melarang mereka yang baru saja memakan bawang memasukinya.
Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketentraman pada pengunjung dan lingkungannya, karena itu Rasulullah melarang adanya benih-benih pertengkaran didalamnya, sampai-sampai beliau bersabda:
“Jika engkau mendapati seseorang menjual atau membeli di dalam masjid, katakanlah kepadanya,” semoga Allah tidak memberi keuntungan bagi perdaganganmu”, dan bila engkau mendapati seseorang mencari barangnya yang hilang didalam masjid, maka katakanlah, “semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu (semoga engkau tidak menemukannya).”

Kedua teks yang disebutkan diatas tidak berarti larangan berbicara tentang perniagaan yang sifatnya mendidik umat, atau melarang para Pembina dan pengelola masjid berniaga, melainkan yang dimaksud adalah larangan melakukan transaksi perniagaan didalam masjid.
Fungsi masjid paling tidak dinyatakan oleh hadits Rasulullah ketika menegur seseorang yang membuang air kecil (disamping) masjid:
“Masjid-masjid tidak wajar untuk tempat kencing atau (membuang sampah). Ia hanya untuk (dijadikan tempat) berzikir kepada Allah, dan membaca (belajar) Alquran”. (H.R. Muslim)

2.4. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Secara etimologis, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha. Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa lembaga mengandung dua arti, yaitu: 1) Pengertian secara fisik, material, konkrit, dan 2) pengertian secara non fisik, non material, dan abstrak.
Dalam bahasa Inggris, lembaga disebut Institute (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian non fisik atau abstrak disebut institution, yaitu suatu system norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian non fisik disebut dengan pranata.
Secara terminology menurut Hasan Langgulung, Lembaga Pendidikan adalah suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideology-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah: masjid, sekolah, kuttab, dan sebagainya.
Daud Ali dan Habibah Daud menjelaskan, bahwa ada dua unsur yang kontradiktif dalam pengertian lembaga, pertama pengertian secara fisik materil, konkrit, dan kedua pengertian secara non fisik, non materil dan abstrak. Terdapat dua versi pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi fisik menampakkan suatu badan dan sarana yang didalamnya ada beberapa orang yang menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek non fisik lembaga merupakan suatu sistem yang berperan membantu mencapai tujuan.
Amir Daiem mendefinisikan lembaga pendidikan dengan orang atau badan yang secara wajar mempunyai tanggungjawab terhadap pendidikan.
Rumusan definisi yang dikemukakan Amir Daiem ini memberikan penekanan pada sikap tanggungjawab seseorang terhadap peserta didik, sehingga dalam realisasinya merupakan suatu keharusan yang wajar bukan merupakan keterpaksaan. Definisi lain tentang lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan, relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Adapun Lembaga Pendidikan Islam secara terminology dapat diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung pengertian konkrit, berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penanggungjawab pendidikan itu sendiri.
Pendidikan Islam termasuk bidang sosial sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga sosial tersebut terdiri atas tiga bagian, antara lain:
1. Asosiasi, misalnya universitas, persatuan atau perkumpulan;
2. Organisasi khusus, misalnya penjara, rumah sakit, dan sekolah-sekolah;
3. Pola tingkah laku yang menjadi kebiasaan atau pola hubungan sosial yang mempunyai hubungan tertentu.

Lembaga sosial adalah himpunan norma-norma tentang keperluan-keperluan pokok didalam kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Berdasarkan uraian diatas, lembaga pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang bergerak dan bertanggungjawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak didik. Adapun lembaga pendidikan islam dapat diartikan dengan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan. Dengan demikian, lembaga pendidikan islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga islam, dan mempunyai pola-pola tertentu dalam memerankan fungsinya serta mempunyai struktur tersendiri yang dapat mengikat individu yang berada dibawah naungannya, sehingga ini mempunyai kekuatan hukum tersendiri.
Lembaga pendidikan Islam berupa non fisik mencakup peraturan-peraturan baik yang tetap maupun yang berubah, sedangkan bentuk fisik berupa bangunan seperti masjid, kuttab, dan sekolah. Bentuk fisik ini sebagai tempat untuk melaksanakan peraturan-peraturan, yang penanggungjawabnya adalah suatu badan, organisasi, orang tua, yayasan, dan negara.
Dalam buku karangan Beni Ahmad Soebani dan Hendra Akhdiyat menjelaskan, bahwa lembaga pendidikan adalah tempat berlangsungnya atau dilaksanakannya kegiatan pendidikan yang fasilitasnya dapat berupa rumah, madrasah, masjid, mushola atau surau, majlis ta’lim, pondok pesantren, balai musyawarah, sekolah, perkantoran, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan formal berupa sekolah, pondok pesantren yang sederajat dengan madrasah yang diakui, bahkan diakreditasi oleh Dinas Pendidikan Nasional.
Lembaga pendidikan non formal adalah keluarga dan lingkungan masyarakat. Dengan memanfaatkan berbagai fasilitas umum yang dimiliki masyarakat, misalnya masjid, mushola, balai musyawarah, rumah penduduk dan sebagainya untuk melaksanakan pendidikan Islam.
Kelembagaan pendidikan islam dapat dikembangkan di masyarakat tanpa terpaku oleh lembaga-lembaga yang sifatnya formal. Oleh karena itu, pengembangannya akan mempermudah masyarakat menerima dan menambah ilmu pengetahuan agama Islam khususnya dan umumnya berbagai ilmu yang bermanfaat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, ibu-ibu PKK mengadakan Pengajian Keliling seminggu sekali ke rumah-rumah penduduk setiap RT dan RW, maka program ini merupakan upaya memanfaatkan lembaga non formal untuk mengembangkan syiar Islam di masyarakat.

2.5. Prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam
Bentuk Lembaga Pendidikan Islam apa pun dalam Islam harus berpijak pada prinsip-prinsip tertentu yang telah disepakati sebelumnya, sehingga antara lembaga satu dengan lembaga lainnya tidak terjadi semacam tumpang tindih. Prinsip-prinsip pembentukkan lembaga pendidikan islam itu adalah:
1. Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia pada api neraka (Q.S. At-Tahrim:6)

6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

2. Prinsip pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia di dunia dan di akhirat, sebagai realisasi cita-cita bagi orang yang beriman dan bertaqwa, yang senantiasa memanjatkan doa sehari-harinya (Q.S. Al-Baqarah:201; Al-Qashash:77)

201. Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"[127]. (Q.S. Al-Baqarah:201)

[127] inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.

77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(Al-Qashash:77)

3. Prinsip pembentukkan pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan hidupnya untuk menghambakan diri pada Khaliknya, keyakinan dan keimanannya sebagai penyuluh terhadap akal budi yang sekaligus mendasari ilmu pengetahuannya, bukan sebaliknya keimanan dikendalikan oleh akal budi. (Q.S. Al-Mujadilah:11)

11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujadilah:11)

4. Prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar, dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kenistaan. (Q.S. Ali Imran:104, 110)

104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran:104)

[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali Imran:110)

5. Prinsip pengembangan daya piker, daya nalar, daya rasa, sehingga dapat menciptakan anak didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa, dan karsanya.

2.6. Jenis-Jenis Lembaga Pendidikan Islam
1. Lembaga Pendidikan Islam dilihat dari Ajaran Islam sebagai asasnya
Dalam ajaran Islam, perbuatan manusia disebut dengan amal, yang telah melembaga dalam jiwa seorang muslim, baik amal yang berhubungan dengan Allah maupun amal yang berhubungan dengan manusia, dan alam semesta. Sedangkan Mahmud Syaltut mengemukakan, bahwa ajaran Islam mencakup aspek akidah, syariah dan mu’amalah yang dapat membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih baik.
Asas seluruh ajaran dan amal Islam adalah Iman. Islam telah menetapkan norma-norma dalam mengamalkan ajarannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sidi Ghazalba, bahwa jenis lembaga pendidikan Islam yang serba tetap dan tidak boleh berubah dan tidak mungkin berubah adalah:
a. Rukun Iman, yaitu lembaga kepercayaan manusia kepada Tuhan, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, dan Takdir;
b. Ikrar keyakinan (bacaan Syahadatain), yaitu lembaga yang merupakan pernyataan atas kepercayaan manusia;
c. Thaharah, yaitu lembaga pensucian manusia dari segala kotoran, baik lahir maupun batin;
d. Shalat, yaitu lembaga pembentukkan pribadi-pribadi, yang dapat membantu dalam menemukan pola tingkah laku untuk membangun atas dasar kesejahteraan umat dan mencegah perbuatan keji dan munkar;
e. Zakat, yaitu lembaga pengembangan ekonomi umat, serta lembaga untuk menghilangkan stratifikasi status ekonomi masyarakat yang tidak seimbang;
f. Puasa, yaitu lembaga untuk mendidik jiwa, dengan mengendalikan nafsu dan kecenderungan-kecenderungan fisik dan psikologis;
g. Haji, yaitu lembaga pemersatu dalam komunikasi umat secara keseluruhan;
h. Ihsan, yaitu lembaga yang melengkapi dan meningkatkan serta menyempurnakan amal dan ibadah manusia;
i. Ikhlas, yaitu lembaga pendidikan rasa dan budi, sehingga tercapai suatu kondisi kenikmatan dalam beribadah dan beramal;
j. Taqwa, yaitu lembaga yang menghubungkan antara manusia dan Allah sebagai suatu cara untuk membedakan tingkat dan derajat manusia.
Adapun lembaga-lembaga yang dapat berubah, karena perubahan norma-norma adalah:
a. Ijtihad, yaitu lembaga berpikir sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam merumuskan suatu keputusan masalah;
b. Fiqih, yaitu lembaga hukum Islam yang diupayakan oleh manusia melalui lembaga ijtihad;
c. Akhlak, yaitu lembaga nilai-nilai tingkah laku yang dibuat acuan oleh sekelompok masyarakat dalam pergaulan;
d. Lembaga pergaulan masyarakat (sosial);
e. Lembaga ekonomi, yaitu lembaga yang mengatur hubungan ekonomi masyarakat dengan mencakup segala aspeknya;
f. Lembaga politik;
g. Lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi;
h. Lembaga seni;
i. Lembaga negara;
j. Lembaga pendidikan

2. Lembaga Pendidikan Islam ditinjau dari aspek Penanggung-jawab
a. Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga)
keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah persekutuan antar sekelompok orang yang mempunyai pola-pola kepentingan masing-masing dalam mendidik anak yang belum ada di lingkungannya. Kegiatan pendidikan dan lembaga ini tanpa ada suatu organisasi yang ketat. Tanpa ada program waktu dan evaluasi.
Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah dan nasb. Sejalan dengan pengertian diatas, keluarga dapat diperoleh lewat persusuan dan pemerdekaan. Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam disyaratkan dalam Alquran:

6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. at-Tahrim:6)

Hal itu juga dipraktekkan Nabi dalam sunnahnya. Diantara orang yang dahulu beriman dan masuk Islam adalah anggota keluarga, yaitu Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Harisah.
Keluarga merupakan orang pertama, dimana sifat kepribadian akan tumbuh dan terbentuk. Seseorang akan menjadi warga masyarakat yang baik, bergantung pada sifatnya yang tumbuh dalam kehidupan keluarga, dimana anak dibesarkan.
Melihat peran yang dapat dimainkan oleh lembaga pendidikan keluarga, maka tidak berlebihan bila Sidi Ghazalba mengkategorikannya pada jenis lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggungjawab.

b. Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah/Madrasah)
Abu Ahmad dan Nur Uhbiyato memberi pengertian tentang lembaga pendidikan sekolah, yaitu bila dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Sementara Hadari Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan secara remaja, berencana, sistematis dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya, agar mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.
Gazalba memasukkan lembaga pendidikan formal ini dalam jenis pendidikan sekunder, sementara pendidiknya adalah guru yang professional.
Di Negara Republik Indonesia, ada tiga lembaga pendidikan yang diidentikkan sebagai lembaga pendidikan islam, yaitu: pesantren, madrasah, dan sekolah milik organisasi islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada.
Lembaga pendidikan pesantren dapatlah dikategorikan sebagai lembaga pendidikan non formal. Sedangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia adalah:
1. Raudhatul Athfal atau Busthanul Athfal, atau nama lain yang disesuaikan dengan organisasi pendirinya;
2. Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau Sekolah Dasar Islam (SDI);
3. Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPi), atau nama-nama lain yang setingkat dengan pendidikan ini, seperti Madrasah Mu’allimat (MMA), atau Madrasah Mua’llimin Atas (MMA);
4. Perguruan tinggi, antara lain Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN) atau lembaga sejenis milik yayasan atau organisasi keislaman, seperti Sekolah Tinggi, Universitas atau Institut Swasta milik organisasi atau yayasan tertentu;
5. Lembaga Pendidikan Non Formal (masyarakat) yang teratur, namun tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Hampir sejalan dengan pengertian tersebut diatas, Abu Ahmadi mengartikan lembaga non formal kepada semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan terencana diluar kegiatan lembaga sekolah (lembaga pendidikan formal).

Masyarakat merupakan kumpulan individu dan kelompok yang terikat oleh kesatuan bangsa, Negara, kebudayaan, dan agama. Setiap masyarakat memiliki cita-cita yang diwujudkan melalui peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Islam tidak membebaskan manusianya dari tanggungjawabnya sebagai anggota masyarakat, dia merupakan bagian yang integral, sehingga harus tunduk pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Begitu juga dengan tanggungjawabnya dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan.
Berpijak pada tanggungjawab masyarakat diatas lahirlah lembaga pendidikan islam yang dapat dikelompokkan dalam jenis ini adalah:
1. Masjid, musholla langgar, surau dan rangkang;
2. Madrasah diniyah yang tidak mengikuti ketetapan resmi;
3. Majlis Ta’lim, Taman Pendidikan Alquran, Taman Pendidikan Seni Alquran, Wirid Remaja/Dewasa;
4. Kursus-kursus Keislaman;
5. Badan Pembinaan Rohani;
6. Badan-badan Konsultasi Keagamaan;
7. Musahabah Tilawah Alquran.

2.7. Masjid sebagai Lembaga Pendidikan
Implikasi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam adalah:
a. Mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT;
b. Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insane pribadi, sosial dan warga Negara;
c. Memberikan rasa ketentraman, kekuatan, dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran, perenungan, optimism, dan mengadakan penelitian;

BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Dari sekian banyak uraian yang kami kemukakan, maka kami dapat menyimpulkan bahwa:
a. Masjid mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Dalam arti umum, masjid adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud, sedangkan dalam arti khusus masjid adalah tempat yang dibangun khusus untuk menjalankan ibadah, terutama shalat berjamaah;
b. Masjid mempunyai banyak fungsi diantaranya yaitu sebagai tempat menjalankan ibadah shalat, sebagai tempat musyawarah, dan sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut keadilan;
c. Masjid yang pertama kali dibangun adalah Masjid Quba, kemudian disusul dengan Masjid Nabawi;
d. Lembaga Pendidikan Islam adalah suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam;
e. Prinsip-prinsip pembentukkan Lembaga Pendidikan Islam itu diantaranya: Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia pada api neraka. Prinsip pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagian di dunia dan di akhirat, dan prinsip amar ma’ruf nahi munkar, dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kenistaan;
f. Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam itu diantaranya yaitu lembaga pendidikan Islam dilihat dari ajaran Islam sebagai asasnya dan lembaga pendidikan Islam ditinjau dari aspek penanggungjawab
g. Implikasi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam itu diantaranya untuk mendidik anak agar tetap beribadah kepada Allah, menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insane pribadi, sosial dan warga Negara, dan memberikan rasa ketentraman, kekuatan, dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran, perenungan, optimism, dan mengadakan penelitian.

3.2. Saran
Penulis menyusun Makalah ini untuk memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam dengan pokok bahasan mengenai: “Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam”, maka penulis akan menyampaikan saran sebagai berikut:
a. Kita sebagai umat Islam harus banyak memakmurkan masjid, jangan sampai masjid itu yang mengisinya sedikit, artinya masjid itu harus banyak dimanfaatkan benar-benar seperti pada zaman Rasulullah SAW;
b. Bahwa kita jangan mempunyai anggapan bahwa masjid itu sebagai tempat shalat saja, tetapi masjid itu banyak sekali fungsinya seperti untuk pengajian-pengajian, bermusyawarah, latihan remaja mesjid, dan yang lainnya.


DAFTAR PUSTAKA


Zuhairini, 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana

Ramayulis, 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia

Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, 2009. Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung: Pustaka Setia

http://media.isnet.org/Islam/Quraish/Wawasan/Masjid.html